tag:blogger.com,1999:blog-92107875644373005612024-03-19T14:04:36.821-07:00Sosrobhirowo Ajisaktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-85379998870998912010-10-02T19:33:00.000-07:002010-10-02T19:34:04.309-07:00<div class="posttitle"><div style="text-align: center;"> </div><h2 style="text-align: center; font-family: verdana;">Akibat melalaikan Sholat…</h2> <p class="post-info">May 7, 2008 by <a href="http://satrio74.wordpress.com/author/satrio74/" title="Posts by ventus">ventus</a> </p> </div> <p class="MsoNormal">Sayyid Ali bin Thawus meriwayatkan bahwa panutan seluruh wanita, Fathimah ra, putri panutan seluruh nabi, bertanya kepada ayahandanya, Muhammad SAW, “Ayahanda, apa yang akan didapat oleh orang -baik laki-laki ataupun perempuan- yang mengabaikan shalatnya?”</p> <p class="MsoNormal">Rasulullah SAW menjawab, “Fathimah putriku, barangsiapa – baik laki-laki ataupun perempuan – mengabaikan shalatnya, maka Allah SWT akan mengujinya dengan 15 ujian. Enam diantaranya ditimpakan di dunia; tiga diantaranya ditimpakan ketika dia mati; tiga diantaranya ditimpakan di dalam kubur dan tiga lagi ditimpakan pada hari Kiamat, tatkala dia keluar dari kuburnya.</p> <p class="MsoNormal">Enam ujian yang ditimpakan kepadanya di dunia adalah:</p> <p class="MsoNormal">1. Allah akan menghilangkan keberkahan dari umurnya,</p> <p class="MsoNormal"><span>2. Allah akan menghilangkan keberkahan dari rezkinya,</span></p> <p class="MsoNormal"><span>3. Allah akan menghapus tanda-tanda kesalehan dari wajahnya,</span></p> <p class="MsoNormal"><span>4. semua amal yang pernah ia kerjakan tidak akan diberi pahala,</span></p> <p class="MsoNormal"><span>5. do’anya tidak akan diangkat ke langit</span></p> <p class="MsoNormal"><span>6. dia tidak mendapat bagian apapun dari do’a yang dipanjatkan oleh orang-orang saleh</span></p> <p class="MsoNormal"><span>Tiga ujian yang ditimpakan ketika dia mati adalah:</span></p> <p class="MsoNormal"><span>1. dia akan mati dalam keadaan hina</span></p> <p class="MsoNormal"><span>2. dia akan mati dalam keadaan lapar</span></p> <p class="MsoNormal"><span>3. dia akan mari dalam keadaan haus, meski air dari seluruh sungai dunia diberikan kepadanya, hausnya tidak akan reda. </span></p> <p class="MsoNormal"><span>Tiga ujian yang ditimpakan di kuburnya adalah:</span></p> <p class="MsoNormal"><span>1. Allah menyerahkannya kepada malaikat yang akan menyusahkannya dalam kuburnya</span></p> <p class="MsoNormal"><span>2. Allah menyempitkan kuburnya</span></p> <p class="MsoNormal"><span>3. Allah menggelapkan kuburnya</span></p> <p class="MsoNormal"><span>Adapun tiga ujian yang ditimpakan pada hari kiamat ketika dia keluar dari kuburnya adalah:</span></p> <p class="MsoNormal"><span>1. Allah menyerahkannya pada malaikat yang akan menyeret kepalanya disaksikan oleh seluruh makhluk</span></p> <p class="MsoNormal">2. Allah menghisabnya dengan berat</p> <p class="MsoNormal">3. Allah tidak akan melihatnya dan tidak akan menyucikannya, dan dia akan dapat siksa yang amat pedih.</p> <p class="MsoNormal">Mustadrak Al-Wasa’il, juz 3 hal 24)</p> <p class="MsoNormal"><em>(Dikutip dari buku “Wasiat Nabi kepada Fathimah”)</em></p> <hr />saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-46988158764349172432010-10-02T19:31:00.000-07:002010-10-02T19:32:05.562-07:00<div style="font-family: verdana;" class="posttitle"><div style="text-align: center;"> </div><h2 style="text-align: center;">Mengapa perlu bertawassul ?</h2> <p class="post-info">April 30, 2008 by <a href="http://satrio74.wordpress.com/author/satrio74/" title="Posts by ventus">ventus</a> </p> </div> <div style="font-family: verdana;" class="entry"> <div class="snap_preview"><p class="MsoNormal"><span> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><img class="alignleft" style="float: left; margin-left: 12px; margin-right: 12px;" src="http://satrio74.files.wordpress.com/2008/04/kaligrafi-1.gif?w=113&h=107" alt="" width="113" align="left" height="107" hspace="12" /><span>Wasilah (perantara) artinya sesuatu yang menjadikan kita dekat kepada Allah SWT. </span>Adapun tawassul sendiri berarti mendekatkan diri kepada Allah atau berdo’a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">يَااَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوااللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">“Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan<span> </span>carilah jalan (wasilah/perantara).”</p> <p><span id="more-116"></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ada beberapa macam wasilah. Orang-orang yang dekat dengan Allah bisa menjadi wasilah agar manusia juga semakin dekat kepada Allah SWT. Ibadah dan amal kebajikan juga dapat dijadikan wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) juga termasuk wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Mengenai tawassul dengan sesama manusia, tidak ada larangan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits mengenai tawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah para Nabi, para Rasul, sahabat-sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in, para shuhada dan para ulama shalihin.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Karena itu, berdo’a dengan memakai wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya:</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">لاَمَانَعَ لمِاَ اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِى لمِاَ مَنَعْتَ</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Tidak ada yang bisa mencegah terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Secara psikologis tawassul sangat membantu manusia dalam berdoa. Katakanlah bertawassul sama dengan meminta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT itu agar mereka ikut memohon kepada Allah SWT atas apa yang kita minta.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Sumber : nu.or.id (KH A Nuril Huda – Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU))</p> </div> </div>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-51910494272635797302010-10-02T19:27:00.000-07:002010-10-02T19:28:51.823-07:00<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;"><span style="font-family: verdana;">Penampakan amal orang hidup kepada orang mati</span><br /></div><br /><span style="font-family: verdana;">May 7, 2008 by ventus</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Anas ibn Malik menuturkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Sesungguhnya amal-amal kalian itu diperlihatkan kepada kaum kerabat dan keluarga kalian yang sudah meninggal. Jika amal-amal itu baik, mereka pun merasa senang. Jika sebaliknya, mereka akan mengatakan, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan mereka sehingga Engkau memberikan petunjuk kepada mereka, sebagaimana Engkau telah memberikan petunjuk kepada kami.” (HR Ahmad, At-Turmudzi, dan Ibn Mundah)</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Nu’man ibn Basyir mengaku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Takutlah kepada Allah dalam kaitannya dengan saudara-saudara kalian yang sudah menghuni kuburan, karena perbuatan-perbuatan kalian diperlihatkan kepada mereka.” (HR At-Turmudzi, Ibn Abi ad-Dunya dalam Al-Manamat dan Al-Bayhaqi dalam Syuab al-Iman)</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Sementara Abu Nu’aym menuturkan riwayat dari Ibn Mas’ud. Dia berkata, “Sambungkanlah hubungan dengan orang yang pernah menjalin hubungan dengan ayahmu, karena hubungan seseorang mayat itu masih terus bersambung di alam kuburnya, jika engkau terus menjalin hubungan dengan orang yang pernah menjalin hubungan dengannya.”</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Ibn ‘Umar menuturkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa ingin menjalin hubungan dengan ayahnya yang berada di alam kuburnya, hendaklah dia menjalin hubungan dengan saudara-saudara ayahnya setelah kematiannya.” (HR Ibn Hibban)</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Abu Usayd as-Sa’adi menuturkan bahwa ada seseorang yang datang kepada Nabi saw seraya bertanya, “Ya Rasulullah, apakah masih mungkin berbakti kepada orang tua yang dapat saya lakukan setelah kematian mereka?” Beliau menjawab, “Ya. Ada empat kriteria yang tersisa untukmu, yaitu: doa, memenuhi janji keduanya, memuliakan teman-teman mereka, serta menyambung silaturrahmi yang menjadikan engkau tidak akan mendapatkan kasih sayang melainkan dari keduanya.” (HR Abu Dawud dan Ibn Hibban).</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">(sumber: Ziarah ke Alam Barzakh, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi)</span><br /></div>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-55741099405802368102010-10-02T19:20:00.000-07:002010-10-02T19:26:38.366-07:00perjalanan kahlil gibran Perjalanan Kahlil Gibran (1883-1931) May 7, 2008 by ventus <>Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Le <div class="posttitle" face="verdana"><div style="text-align: center;"> </div><h2 style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;">Perjalanan Kahlil Gibran (1883-1931)</span></h2><div style="text-align: center;"> </div><div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;">May 7, 2008 by </span></div><p class="post-info"> </p> </div> <div style="font-family: verdana;" class="entry"> <div class="snap_preview"><p class="MsoNormal"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><<img class="alignleft" style="float: left; margin-left: 12px; margin-right: 12px;" src="http://satrio74.files.wordpress.com/2008/05/180px-khali_gibran.jpg?w=173&h=208" alt="" width="173" align="left" height="208" hspace="12" />>Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Lebanon. Beshari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Bairut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.</span></p> <p><span style="font-size:100%;"><span id="more-159"></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, “Spirits Rebellious” ditulis di Boston dan diterbitkan di New York, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. <span>Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><<img class="alignleft" style="float: left; margin-left: 12px; margin-right: 12px;" src="http://satrio74.files.wordpress.com/2008/05/kgibran.jpg?w=97&h=121" alt="" width="97" align="left" height="121" hspace="12" />><span>Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan’s Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Sebelum tahun 1912 “Broken Wings” telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Pengaruh “Broken Wings” terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama “Broken Wings” ini dipersembahkan untuk Mary Haskell. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Syria yang tinggal di Amerika.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “The Madman”, “His Parables and Poems”. Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam “The Madman”. Setelah “The Madman”, buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah “Twenty Drawing”, 1919; “The Forerunne”, 1920; dan “Sang Nabi” pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Sebelum terbitnya “Sang Nabi”, hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca “Sang Nabi”. Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Gibran menyelesaikan “Sand and Foam” tahun 1926, dan “Jesus the Son of Man” pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, “Lazarus” pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan “The Earth Gods” pada tahun 1931. Karyanya yang lain “The Wanderer”, yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain “The Garden of the Propeth”.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span>Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. </span>Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran. Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku.”</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><em>Sumber : 10 Kisah Hidup Penulis Dunia</em></span></p> </div> </div>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-38493218329363022892010-10-02T19:18:00.000-07:002010-10-02T19:19:55.555-07:00perjalanan kahlil gibran Perjalanan Kahlil Gibran (1883-1931) May 7, 2008 by ventus <>Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Lesaktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-43777734480408004222010-09-19T06:09:00.001-07:002010-09-19T06:09:46.013-07:00Jia,Raga,Sukma,Nyawa<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">JIWA, RAGA, SUKMA, NYAWA</span></h2> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Sejenak kita akan membahas (lagi) ilmu tentang jiwa, tetapi mungkin para pembaca yang budiman masih bertanya tanya apa perbedaan antara jiwa, jasad, dan sukma. Sebelum saya menjabarkan ketiganya, kiranya perlu saya tampilkan beberapa cuplikan pemahaman orang lain tentang jiwa sebagai upaya mencari komparasi dan menambah khasanah ilmu kejiwaan.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>KERANCUAN MEMAKNAI JIWA, SUKMA, NYAWA, PSIKHIS</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">JIWA, di dalam Oxford Dictionary tertulis <em>soul</em> (roh), <em>mind</em> dan <em>spirit</em>. Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Yunani <em>Psychê</em> yang berarti jiwa dan <em>logos</em> yang berarti nalar, logika atau ilmu. Tubuh adalah bagian yang fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat fana sedangkan jiwa menurut Plato (500 SM) merupakan bagian yang memiliki substansi tersendiri (terpisah dari jasad) dan bersifat abadi. Plato berargumen, bahwa jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih jauh ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena <strong>tubuh menghambat kebebasan jiwa</strong>. Bagi seorang murid Plato, yakni Aristoteles (400 SM), semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan tentu saja manusia. Bagi Plato jika seseorang mati, maka jiwanya akan tetap ada dan kembali kedunia Idea di mana di sana terdapat segala hal yang ideal (sempurna) untuk kemudian jiwa akan mereinkarnasi diri dan menubuh kembali pada saatnya. Di sisi lain Aristoteles muridnya, memiliki pandangan berbeda, ia tidak setuju keduaan ala gurunya. Bagi Aristoteles tubuh dan jiwa itu bukan keduaan melainkan kesatuan. Olehkarenanya jika seseorang mati, maka konsekuensinya jiwapun turut mati bersama tubuh. Mana yang benar, Plato atau Aristoteles ? Saya kira kedua-duanya konsep Plato dan Aristoteles tetap mengandung kelemahan-kelemahan. Bahkan jika ditelaah lebih dalam, banyak ilmuwan kesulitan memetakan letak di mana jiwa (nafs, hawa, nafas, soul), roh (spirit) dan raga (body). Hal ini bukan berarti para filsuf pendahulu kita gegabah dalam memaknai tentang jiwa. Dapat dimaklumi sebab <strong>mempelajari tentang seluk beluk kejiwaan kita, musti menggunakan jiwa kita sendiri</strong>. <strong><em>Golek latu adadamar</em></strong>, atau mencari bara api dengan menggunakan obor sebagai penerang jalan. Sangatlah bisa dimaklumi sebab pembahasan jiwa sudah bersinggungan dengan ranah gaib yang tak tampak oleh mata wadag. Hanya saja, untuk melengkapi pembahasan terdahulu dalam posting <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/wirid-purba-jati-mengenali-jati-diri-hakekat-neng-ning-nung-nang/">MENGENALI JATI DIRI</a> kiranya perlu dilakukan komparasi terhadap khasanah ilmu jiwa yang telah disampaikan oleh para pendahulu kita agar jiwa kita menjadi jiwa yang betul-betul merdeka. Merdeka lahir dan merdeka batin.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong> </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>JIWA MENURUT KI AGENG SURYO MENTARAM</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Sejenak para pembaca yang budiman saya ajak mampir ke padepokan seorang filsuf Jawa dan kondang sebagai seorang yang linuwih dan sakti mandraguna. Beliau adalah Ki Ageng Suryo Mentaram (kebetulan dulu tinggalnya di belakang rumah kami). Ki Ageng Suryo Mentaram membahas ilmu jiwa yang dikemukakan seorang filsuf Jawa sekaligus penghayat <em>kejawen</em> yang pada waktu hidupnya beliau terkenal sebagai seseorang yang memiliki ilmu <em>linuwih</em> dan <em>sakti mandraguna</em>.<span id="more-1336"></span><strong>Baca selanjutnya !</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Ilmu jiwa sebagaimana diungkapkan Ki Ageng Suryo Mentaram dikenal dengan dua macam jiwa. Yakni jiwa <em>KRAMADANGSA</em>, dan jiwa <em>BUKAN KRAMADANGSA</em>. Apa yang disinyalir sebagai jiwa <em>kramadangsa</em> adalah jiwa yang tidak abadi disebut pula sebagai rasa “Aku <em>Kramadangsa</em>”. <em>Aku kramadangsa</em> termasuk di dalamnya adalah “rasa nama” atau ke-<em>aku</em>-an, misalnya aku bernama Siti Ba’ilah. Aku adalah seorang musafir, aku seorang satrio piningit, aku adalah seorang kaya raya. Ki Ageng Suryo Mentaram mensinyalir adanya “rasa jiwa” yang bersifat abadi. Dimaknai sebagai <em>Aku bukan </em><em>k</em><em>ramadangsa</em>. Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, rasa <em>aku kramadangsa</em> adalah ke-<em>aku</em>-an (<em>naari </em>atau “unsur api”) yakni aku yang masih terlena, terlelap dalam berbagai rasa aku yang terdapat di dalam lautan <em>kramadangsa</em>. Sebaliknya <em>aku bukan kramadangsa</em> adalah aku yang telah otonom yang sudah memiliki KESADARAN memilih mana yang BENAR dan mana yang SALAH sehingga ia dapat dinamai “<em>Aku </em><em>ka</em><em>ng </em><em>jumeneng </em><em>pribadi</em>”.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Menurut Ki Ageng Suryomentaram alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan terdiri dari tiga bagian yakni <strong>pancaindera</strong>, <strong>rasa hati</strong> dan <strong>pengertian</strong>. <em>Pertama</em>, <strong>pancaindera</strong>, seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan (mata), alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah) dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). <em>Kedua</em>, <strong>rasa hati</strong>, adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain. <em>Ketiga</em>, adalah <strong>pengertian</strong>, kegunaan <em>pengertian</em> dapat menentukan tentang hal-hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari rasa hati. <em>Pengertian</em> di sebut pula sebagai persepsi, yang pada gilirannya akan menentukan <em>mind-set</em> atau pola pikir. Dengan demikian alat <em>pengertian</em> ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang didapat dari alat pertama dan kedua. Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis, kontemplasi, endapan yang didapat dengan cara <strong>menyeleksi</strong><em>mysteré</em> sulit terjangkau oleh kemampuan alat manusia.</span> hal-hal yang tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja. Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak diketahui karena di dalamnya terdapat banyak hal yang masih </p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>JIWA YANG MERDEKA (KAREPING RAHSA)</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Seperti yang telah saya kemukakan dan jabarkan dalam posting terdahulu tentang <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/wirid-purba-jati-mengenali-jati-diri-hakekat-neng-ning-nung-nang/"><strong>MENGENALI JATI DIRI</strong></a>. Jiwa adalah nafas, <em>nafs</em>, hawa atau nafsu. Jiwa yang telah merdeka barangkali artinya sepadan dengan apa yang dimaksud <em>jiwa yang mutmainah</em> (an-nafsul mutmainah). Rasanya sepadan dengan apa yang dimaksud dalam konsep Ki Ageng Suryo Mentaram sebagai <em>aku bukan kramadangsa</em>. <em>Aku bukan kramadangsa</em> selanjutnya saya lebih suka menyebutnya sebagai JIWA yang NURUTI KAREPING RAHSA, lebih mudah dipahami bila saya analogikan sebagai JIWA yang TUNDUK KEPADA SUKMA SEJATI. Sebaliknya apa yang disebut sebagai <em>jiwa kramadangsa</em>, <em>aku kramadangsa</em>, tidak lain adalah jiwa yang NURUTI RAHSANING KAREP. Lebih tegas lagi saya sebut sebagai JIWA yang DITAKLUKKAN OLEH JASAD.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Barangkali perlu dipahami bahwa <em>jiwa k</em><em>ramadangsa</em> (rasa nama) kesadarannya lebih dari jiwa yang berhasil diidentifikasi oleh Aristoteles sebagai jiwa yang ikut mati. Saya kira Aristoteles hanya menangkap jiwa-jiwa sebagaimana jiwa binatang dan tumbuhan yang ikut mati. Dan Sementara itu <em>jiwa kramadangsa</em> di sini adalah jiwa dengan kesadaran rendah, yang dimiliki manusia. Jiwa kramadangsa hanya terdiri dari kumpulan seluruh catatatan di dalam memori jasad manusia yang berisi semua tentang dirinya dan semua yang pernah dialaminya. Tidak seluruh memori itu bersifat abadi karena banyak catatan-catatan <em>in memorial</em> dapat terlupakan bahkan lenyap bersama jasad yang mati. Berbeda dengan “aku bukan <em>kramadangsa</em>”, berarti yang dimaksudkan adalah “aku yang dapat mengatasi <em>kr</em><em>a</em><em>m</em><em>a</em><em>d</em><em>a</em><em>ngs</em><em>a</em>” karena itu “aku” adalah aku yang dapat mengatur dengan baik <em>kr</em><em>a</em><em>m</em><em>a</em><em>d</em><em>a</em><em>ngs</em><em>a</em>-ku.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </p><p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>JIWA, ROH, JASAD</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Tulisan saya di sini mencoba untuk membantu menjabarkan apa sejatinya di antara ke tiga unsur inti manusia yakni jiwa, roh dan jasad. Tentu kami yang miskin referensi buku hanya bisa menyampaikan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai data mentah untuk kemudian saya rangkum kembali dalam bentuk kesimpulan sejauh yang bisa diketahui. Pengalaman demi pengalaman batin, memang bersifat subyektif, artinya tak mudah dibuktikann secara obyektif oleh banyak orang, namun saya yakin banyak di antara para pembaca pernah merasakan, paling tidak dapat meraba apa sesungguhnya hubungan di antara jiwa, roh, dan jasad. Walaupun jiwa dan roh berkaitan dengan gaib, namun bukankah entitas gaib itu berada dalam diri kita. Diri yang terdiri dari unsur gaib dan unsur wadag (fisik), tak ada alasan bagi siapapun untuk tidak bisa merasakan dan menyaksikan “obyektivitas” kegaiban. Mencegah diri kita dari unsur dan wahana yang gaib sama saja artinya kita mengalienasi (mengasingkan) dan membatasi diri kita dari “diri sejati” yang sungguh dekat dan melekat di dalam badan raga kita.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em>Sukma-Raga</em></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Hubungan antara roh/sukma dengan raga bagaikan rangkaian perangkat internet. <strong>Sukma</strong> atau roh dapat diumpamakan IP atau <strong><em>internet protocol</em></strong>, yang mengirimkan fakta-fakta dan data-data “gaib” dalam bentuk “bahasa mesin” yang akan diterima oleh perangkat keras atau <strong><em>hardware</em></strong>. Adapun <em>hardware</em> di sini berupa otak (<em>brain</em>) kanan dan otak kiri manusia. Sedangkan tubuh manusia secara keseluruhan dapat diumpamakan sebagai seperangkat alat elektronik bernama PC atau personal komputer, note book, laptop dst yang terdiri dari rangkaian beberapa <em>hardware</em>. <em>Hardware</em> otak tak akan bisa beroperasional dengan sendirinya menerima fakta dan data gaib yang dikirim oleh sukma. <em>Hardware</em> otak terlebih dulu harus diisi (<em>instalation</em>) dengan perangkat lunak atau <em>sofware</em> berupa “program” yang bernama <em>spiritual mind</em> atau pemikiran tentang ketuhanan, atau pemikiran tentang yang gaib.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em>Sukma-Jiwa</em></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Namun demikian, <em>hardware</em> otak tidak akan mampu memahami fakta-fakta gaib tanpa adanya jembatan penghubung bernama jiwa. <strong>Jiwa</strong> merupakan <strong>jembatan penghubung</strong> antara <strong>sukma</strong> dengan <strong>raga</strong>. Aktivitas sukma antara lain mengirimkan <strong>bahasa universal</strong> kepada raga. Bahasa universal tersebut dapat berupa sinyal-sinyal gaib, <em>pralampita</em>, perlambang, simbol-simbol, dalam hal ini saya umpamakan layaknya bahasa mesin, di mana jiwa harus menterjemahkannya ke dalam berbagai bahasa verbal agar mudah dimengerti oleh otak manusia. Tugas jiwa tak ubahnya modem untuk menterjemahkan “bahasa mesin” atau bahasa universal yang dimiliki oleh sukma menjadi bahasa verbal manusia.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Namun demikian, masing-masing jiwa memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menterjemahkan bahasa universal atau sinyal yang dikirim oleh sukma kepada raga, tergantung program atau perangkat lunak (software) jenis apa yang diinstal di dalamnya. Misalnya kita memiliki program canggih bernama <em>Java script</em>, yang bisa merubah bahasa mesin ke dalam bentuk huruf latin atau bahasa verbal, dan bisa dibaca oleh mata wadag.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em>Jiwa-Raga</em></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Setelah jiwa berhasil menterjemahkan “bahasa mesin”, atau bahasa universal sukma ke dalam bahasa verbal, selanjutnya menjadi tugas <em>otak bagian kanan</em><em>spiritual</em> <em>mind</em> atau pemikiran spiritual. Semakin besar kapasitas <em>random acces memory</em> (RAM) yang dimiliki otak bagian kanan, seseorang akan lebih mampu memahami “kabar dari langit” yang dibawa oleh sukma, dan diterjemahkan oleh jiwa. Itulah alasan perlunya kita meng <em>upgrade</em> kapasitas “RAM” otak bagian kanan kita agar supaya lebih mudah memahami fakta gaib secara <em>logic</em>. Sebab sejauh yang bisa saya saksikan, <strong>kenyataan gaib itu tak ada yang tidak masuk akal</strong>. Jika dirasakan ada yang tak masuk akal, letak “kesalahan” bukan pada kenyataan gaibnya, tetapi karena otak kita belum cukup menerima informasi dan “data-data gaib”. Dimensi gaib memiliki rumus-rumus, dan hukum yang jauh lebih luas daan rumit daripada rumus-rumus yang ada di dalam dimensi wadag bumi. Contoh yang paling mudah, misalnya segala sesuatu yang ada di dalam dimensi <em>wadag</em> bumi, mengalami rumus atau prinsip terjadi kerusakan (<em>mercapadha</em>). <strong><em>Merca</em></strong> berarti panas atau rusak, <strong><em>padha</em></strong> adalah papan atau tempat. <em>Mercapadha</em> adalah tempat di mana segala sesuatunya pasti akan mengalami kerusakan. Sementara itu di dalam dimensi gaib, rumus kerusakan tak berlaku. Sehingga disebutnya sebagai dimensi keabadian, atau alam kehidupan sejati, alam kelanggengan, <em>papan kang</em><em>langgeng tan owah gingsir</em>. Sekalipun organ tubuh manusia, apabila dibawa ke dalam dimensi kelanggengan, pastilah tak akan rusak atau busuk sebagaimana pernah saya ungkapkan dalam kisah terdahulu, silahkan para pembaca yang budiman membuka <em>posting</em> berjudul KUNCI MERUBAH KODRAT. Sebaliknya, sukma yang hadir ke dalam dimensi bumi, pastilah terkena rumus atau prinsip <em>mercapadha</em>, yakni mengalami rasa cape, sakit, rasa lapar, ingin menikmati makanan dan minuman yang ia sukai sewaktu tinggal di dimensi bumi bersama raga. Hanya saja, sukmanya merupakan unsur gaib, maka tak akan terkena rumus atau prinsip mengalami kematian sebagaimana raga.</span> manusia untuk mengolah dan menilainya melalui </p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>RUMUS-RUMUS KEHIDUPAN WADAG DAN GAIB</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Jiwa yang terlahir ke dalam jasad manusia merupakan <em>software</em> yang merdeka dan bebas menentukan pilihan. Apakah akan menjadi jiwa yang mempunyai prinsip keseimbangan, yakni seimbang berdiri di antara sukma dan raga, menjadi pribadi yang seimbang lahir dan batinnya. Ataukah akan menjadi jiwa yang berat sebelah, yakni tunduk kepada sukma, ataukah jiwa yang menghamba kepada raga saja. Untuk menjadi pribadi yang dapat meraih keseimbangan lahir dan batin, jiwanya harus memperhatikan dan menghayati apa saran sang sukma (<em>nuruti kareping rahsa</em>). Tak perlu meragukan kemampuan sang sukma sebab ia tak akan salah jalan dalam menuntun seseorang menggapai keseimbangan lahir dan batin. Pribadi yang seimbang lahir dan batinnya akan mudah menggapai kemuliaan hidup di dunia dan kehidupan sejati setelah raganya ajal. Sementara itu bagi jiwa yang mau diperbudak oleh raga berarti menjadi pribadi yang hidup dalam penguasaan <em>lymbic section</em>, atau insting dasar hewani, selalu mengumbar hawa nafsu (<em>nuruti rahsaning karep</em>). Tentu saja kehidupannya akan jauh dari kemuliaan sejak hidup di <em>mercapadha</em> maupun kelak dalam kehidupan sejati.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Sebaliknya, bagi jiwa yang terlalu condong kepada sukma, ia akan menjadi pribadi yang fatalis, tak ada lagi kemauan, inisiatif, dan semangat menjalani kehidupan di dimensi wadag planet bumi ini. Seseorang akan terjebak ke dalam pola hidup yang mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini sangatlah timpang, sebab kehidupan duniawi ini akan <strong>sangat menentukan</strong> bagimana kehidupan kita kelak di alam keabadian. Apakah seseorang akan menggapai kemuliaan bahkan kemuliaan Hidup di dunia merupakan bekal di akhirat. Sebagaimana para murid Syeh Siti Jenar yang <strong>gagal dalam memahami</strong> apa yang diajarkan oleh gurunya. Para murid menyangka kehidupan di planet bumi ini tak ada gunanya, bagaikan mayat bergentayangan penuh dosa. Kehidupan dunia bagaikan penghalang dan penjara bagi roh menuju ke alam keabadian. Jalan satu-satunya melepaskan diri dari penjara kehidupan dunia ini adalah jalan kematian. Sehingga banyak di antara muridnya melakukan tindakan keonaran agar supaya menemui kematian.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>NYAWA, KEMATIAN, DAN MERAGA SUKMA</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Banyak orang, melalui berbagai referensi, menganggap nyawa sama dengan jiwa. Bahkan dipahami secara rancu dengan menyamakannya dengan roh atau sukma. Nyawa, jiwa, roh, sukma, diartikan sama. Tetapi manakala kita menyaksikan peristiwa meraga sukma, perjalanan astral, lantas timbul tanda tanya besar. Bukankah saat terjadi peristiwa kematian, sukma seseorang keluar dari jasadnya ?! Kenapa orang yang meraga sukma tidak mengalami kematian ?! Sejak lama saya bertanya-tanya dalam hati saya sendiri. Apa gerangan yang terjadi dan bagimana duduk persoalannya. Bagaimanakah sebenarnya rumus-rumus tuhan yang berlaku di dalamnya ?</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Butuh waktu puluhan tahun hingga saya menemukan jawaban logis, paling tidak nalar saya bisa menerimanya. <strong>Nyawa</strong> ibarat “lem perekat” yang menghubungkan antara sukma dengan raga manusia. Pada peristiwa kematian seseorang, nyawa sebagai <em>lem perekat</em> tidak lagi berfungsi alias lenyap. Jika <em>lem perekat</em>nya sudah tak berfungsi lagi maka lepaslah sukma dari jasad. Lain halnya dengan meraga sukma, <em>lem perekat</em> masih berfungsi dengan baik, sehingga kemanapun sukma berkelana, jasadnya yang ditinggalkan tidak akan mati. Hanya saja <em>lem perekat</em><em>nir kabel</em>. Namun demikian nyawa tentu saja jauh lebih canggih ketimbang teknologi <em>bluetooth</em> yang bisa menghubungkan dua peralatan dalam jarak dekat maupun jauh. Dalam khasanah spiritual Jawa, para leluhur di zaman dulu menemukan adanya keterkaitan masing-masing unsur gaib dan wadag manusia. Raga supaya hidup harus dihidupkan oleh sukma, sukma diikat oleh rasa. Ikatan rasa akan pudar dan lama-kelamaan akan habis apabila rasa tidak kuat lagi menahan penderitaan dan trauma yang dialami oleh raga. Bila seseorang tak kuat lagi menahan rasa sakit, kesadaran jasadnya akan hilang atau mengalami pingsan, dan bahkan kesadaran jasadnya akan sirna samasekali alias mengalami kematian. Di sini peristiwa kematian adalah padamnya “alat nirkabel” atau semacam “<em>bluetooth</em>” bikinan tuhan sehingga terputuslah hubungan antara jasad dan sukma. Lain halnya dengan aksi <em>meraga sukma</em>, sejauh manapun sukma berkelana ia tetap terhubung dengan raga melalui “teknologi” <em>bluetooth</em> bikinan tuhan bernama nyawa.</span> bernama nyawa ini sistem bekerjanya berbeda dengan lem perekat pada umunya yang benar-benar menyambung merekatkan antara dua benda padat. Nyawa merekatkan antara jasad dan sukma secara fleksibel, bagaikan dua peralatan yang dihubungkan oleh teknologi </p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-6172154755071680892010-09-19T06:03:00.000-07:002010-09-19T06:04:30.152-07:00Makna bunga<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">Bahasa Simbol (Makna Bunga)</span></h2> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Mengenal Berbagai Simbol Penghormatan</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Dalam falsafah hidup Jawa, berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur yang menurunkan adalah suatu ajaran yang diagungkan. Orang Jawa yang memahami hakekat hidup, tentunya akan sangat memahami apabila kesuksesan lahir dan batin tak akan bisa diraih apabila kita menjadi seorang anak atau generasi penerus yang durhaka kepada orang tua dan para leluhur yang menurunkannya. Ungkapan rasa berbakti, tidak hanya diucapkan dalam ikrar doa-doa puji-pujian yang ditujukan kepada leluhurnya. Lebih dari itu, harus ada langkah konkrit sebagaimana telah saya posting dalam thread terdahulu dengan judul “<a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/z-faq/faq-membangun-laku-prihatin/">Membangun Laku Prihatin yang Pener dan Pas</a>” dan <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/informasi-penting/hubungan-leluhur-kembalinya-kejayaan-nusantara/">Hubungan Leluhur dengan Kembalinya Kejayaan Nusantara</a>. Salah satu wujud konkrit rasa berbakti tersebut adalah berupa sesaji, yang dimaksud sebagai persembahan atas segala rasa hormat dan rasa terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat yang mana semasa hidupnya telah berjasa memberikan warisan ilmu, harta-benda, dan lingkungan alam yang terpelihara dengan baik sehingga masih dapat kita nikmati sampai saat ini dan memberikan manfaat untuk kebaikan hidup kita.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Berikut ini adalah beberapa contoh menu persembahan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada leluhur (sesaji). Masing-masing uborampe mempunyai ciri khas dan makna yang dalam. Tanpa memahami makna, rasanya persembahan sesaji akan terasa hambar dan mudah menimbulkan prasangka buruk, dianggap sesat, tak ada tuntunannya, dan syirik. Tetapi semua prasangka itu tentu datang dari hasil pemikiran yang tak cukup informasi untuk mengenal dan memahami apa makna hakekat di balik semua itu.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Saya ambil contoh, misalnya para orang tua zaman dulu suka menabur bunga setaman di perempatan jalan. Tetapi lama-kelamaan tradisi itu hilang karena orang takut dituduh musrik dst. Padahal, sesungguhnya orang yang menabur bunga di perempatan jalan sambil mengucapkan doa yang mensiratkan makna yang dalam dalam limpahan kasih sayang yang tidak pilih kasih. Adapun doanya misalnya sebagai berikut :</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em>Ya Tuhan…berilah keselamatan dan berkah kepada siapapun yang melewati jalan ini, baik manusia, makhluk halus, maupun binatang apapun jenis dan namanya</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Doa dan apa yang mereka lakukan merupakan manifestasi dari budi pekerti mereka yang sungguh adiluhung. Melakukannya penuh dengan ketulusan dan kasih sayang. Tentu saja doa yang mengandung ketulusan dan kasih sayang yang berlimpah itu, akan beresonansi dan bersinergi dengan energi alam semesta yang penuh limpahan berkah. Alam menyambutnya dengan limpahan berkah dan keselamatan lahir batin kepada seluruh makhluk yang melewati perempatan jalan itu. Itulah kodrat alam yang telah terbentuk dalam relung-relung hukum keadilan Tuhan.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Kembang</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Atau bunga. Bermakna filosofis agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur. Keharuman merupakan kiasan dari berkah-safa’at yang berlimpah dari para leluhur, dapat mengalir (<em>sumrambah</em>) kepada anak turunnya. Menurut pengalaman saya pribadi, masing-masing aroma bunga, dapat menjadi ciri khas masing-masing leluhur. <em>Desa mawa cara, negara mawa tata</em>. Beda daerah, beda masyarakatnya, beda leluhurnya, beda pula tradisi dan tata cara penghormatannya. Bahkan aroma khas bunga serta berbagai jenis dedaunan tertentu sering menjadi penanda bau khas salah satu leluhur kita. Bila bau harum bunga tiba-tiba hadir di sekitar anda, kemungkinan besar ada salah satu leluhur anda yang hadir di dekat anda berada.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Kembang Setaman</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Uborampe ini sangat fleksibel, cakupannya luas dan dimanfaatkan dalam berbagai acara ritus dan kegiatan spiritual. Kembang setaman versi Jawa terdiri dari beberapa jenis bunga. Yakni, mawar, melati, kanthil, dan kenanga. Lihat dalam gambar.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Adapun makna-makna bunga tersebut yang sarat akan makna filosofis adalah sbb :</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>1. </strong><strong>Kembang </strong><strong>KANT</strong><strong>H</strong><strong>IL</strong><strong>,</strong><strong> </strong><strong><em>kanthi laku, tansah kumanthil</em></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a rel="attachment wp-att-1392" href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/05/02/bahasa-simbol-makna-bunga/kanthil/"><img class="alignleft size-thumbnail wp-image-1392" title="Kanthil" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2010/05/kanthil.jpg?w=144&h=108" alt="" width="144" height="108" /></a>Atau simbol <em>pepeling</em> bahwa untuk meraih <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/04/01/mengenal-ngelmu-sastra-jendra/"><em>ngelmu</em></a> iku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani (Lihat dalam thread; <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/serat-wedhatama-i/">Serat Wedhatama</a>). Maksudnya, untuk meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon-mohon doa. Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (<em>lakutama</em> atau perilaku yang utama). Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau <em>tansah kumanthil-kanthil</em>, yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni cirahan kasih sayang kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya. Bukankah hidup ini pada dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk. Jika semua umat manusia bisa melakukan hal demikian tanpa terkotak-kotak ragam “kulit” agama, niscaya bumi ini akan damai, tenteram, dan sejahtera lahir dan batinnya. Tak ada lagi pertumpahan darah dan ribuan nyawa melayang gara-gara masing-masing umat manusia (yang sesungguhnya maha lemah) tetapi merasa dirinya disuruh tuhan yang Maha Kuasa. Tak ada lagi manusia yang mengklaim diri menjadi utusanNya untuk membela tuhan Yang Maha Kuasa. Yaah, mudah-mudahan untuk ke depan tuhan tak usah mengutus-utus manusia membela diriNya. Kalau memang kita percaya kemutlakan kekuasaan Tuhan, biarkan tuhan sendiri yang membela diriNya, biarkan tuhan yang menegakkan jalanNya untuk manusia, pasti bisa walau tanpa adanya peran manusia! Toh tuhan maha kuasa, pasti akan lebih aman, tenteram, damai. Tidak seperti halnya manusia yang suka pertumpahan darah !! Seumpama membersihkan lantai dengan menggunakan lap yang kotor.<span id="more-1389"></span></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>2. </strong><strong>Kembang MLATHI, <em>rasa melad saka njero ati</em>.</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a rel="attachment wp-att-1393" href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/05/02/bahasa-simbol-makna-bunga/melati/"><img class="alignleft size-thumbnail wp-image-1393" title="Melati" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2010/05/melati.jpg?w=131&h=98" alt="" width="131" height="98" /></a>Dalam berucap dan berbicara hendaknya kita selalu mengandung ketulusan dari hati nurani yang paling dalam. Lahir dan batin haruslah selalu sama, kompak, tidak munafik. Menjalani segala sesuatu tidak asal bunyi, tidak asal-asalan. Kembang melati, atau <em>mlathi</em>, bermakna filosofis bahwa setiap orang melakukan segala kebaikan hendaklah melibatkan hati (sembah kalbu), jangan hanya dilakukan secara gerak ragawi saja.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>3. </strong><strong>Kembang </strong><strong>KENANGA</strong><strong>,</strong><strong> </strong><strong><em>Keneng-a!</em></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a rel="attachment wp-att-1394" href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/05/02/bahasa-simbol-makna-bunga/kenanga/"><img class="size-thumbnail wp-image-1394 alignright" title="Kenanga" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2010/05/kenanga.jpg?w=144&h=108" alt="" width="144" height="108" /></a>Atau gapailah..! segala keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti generasi penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang berhasil dicapai para leluhur semasa hidupnya. <em>Kenanga</em>, kenang-en <em>ing angga</em>. Bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua “pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal (<em>local wisdom</em>).</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>4. </strong><strong>Kembang </strong><strong>MAWAR</strong><strong>,</strong><strong> </strong><strong><em>Mawi-Arsa</em></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Dengan kehendak atau niat. Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar, atau <em>awar-awar ben tawar</em>. Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus. Jadi niat tersebut harus berdasarkan ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (<em>tapa ngrame</em>) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah” yang diharapkan datang dari tuhan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan baik. Pamrih pahala ini tetap saja pamrih, berarti <strong>belum mencapai ketulusan yang tiada batas</strong> atau keadaan rasa tulus pada titik nihil, yakni <em>duwe rasa, ora duwe rasa duwe</em> (punya rasa tidak punya rasa punya) sebagaimana ketulusan tuhan/kekuatan alam semesta dalam melimpahkan anugrah kepada seluruh makhluk. Pastilah tanpa pamrih.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>4.1. </strong><strong>Mawar Merah</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a rel="attachment wp-att-1395" href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/05/02/bahasa-simbol-makna-bunga/mawar-merah-2/"><img class="alignleft size-thumbnail wp-image-1395" title="Mawar Merah 2" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2010/05/mawar-merah-2.jpg?w=112&h=84" alt="" width="112" height="84" /></a>Mawar melambangkan proses terjadinya atau lahirnya diri kita ke dunia fana. Yakni <em>lambang dumadine jalma menungsa</em> melalui langkah <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/budaya-sastra/makna-tembang-macapat/"><em>Triwikrama</em></a>. Mawar merah melambangkan ibu. Ibu adalah tempat per-<em>empu</em>-an di dalam mana jiwa-raga kita diukir. Dalam bancakan weton dilambangkan juga berupa bubur merah (bubur manis gula jawa).</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>4.2. </strong><strong>Mawar Putih</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a rel="attachment wp-att-1391" href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/05/02/bahasa-simbol-makna-bunga/mawar-putih/"><img class="size-thumbnail wp-image-1391 alignright" title="Mawar Putih" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2010/05/mawar-putih.jpg?w=114&h=86" alt="" width="114" height="86" /></a>Mawar putih adalah perlambang dari bapa yang meretas roh kita menjadi ada. Dalam lingkup makrokosmos, Bapanya adalah Bapa langit, Ibunya adalah Ibu Bumi. Bapanya jiwa bangsa Indonesia, Ibunya adalah nusantara Ibu Pertiwi. Keduanya mencetak “pancer” atau guru sejati kita. Maka, pancer kita adalah <em>pancerku kang ana sa ngisore langit, lan pancerku kang ana sa nduwure bumi</em>. Sang Bapa dalam bancakan weton dilambangkan pula berupa bubur putih (santan kelapa). Lalu kedua bubur merah dan putih, disilangkan, ditumpuk, dijejer, merupakan lambang dari percampuran raga antara Bapa dan Ibu. Percampuran ragawi yang diikat oleh rasa sejati, dan jiwa yang penuh cinta kasih yang mulia, sebagai pasangan hidup yang seiring dan sejalan. Perpaduan ini diharapkan menghasilkan bibit regenerasi yang berkwalitas unggul. Dalam jagad makro, keselarasan dan keharmonisan antara bumi dan langit menjadukan keseimbangan alam yang selalu melahirkan berkah agung, berupa ketentraman, kedamaian, kebahagiaan kepada seluruh penghuninya. Melahirkan suatu negeri yang tiada musibah dan bencana, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Kembang Telon</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Terdiri tiga macam bunga. Bisa menggunakan bunga mawar putih, mawar merah, dan kanthil. Atau mawar, melati, kenanga. Atau mawar, melati, kantil. Telon berasal dari kata telu (tiga). Dengan harapan agar meraih tiga kesempurnaan dan kemuliaan hidup (tri tunggal jaya sampurna). <em>Sugih banda, sugih ngelmu, sugih kuasa</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Kembang Boreh, <em>Putihan</em> </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Terdiri dari tiga macam bunga yang berwarna putih. Yakni kanthil, melati, dan mawar putih. Ditambah dengan “boreh” atau parutan terdiri dua macam rempah; <em>dlingo</em> dan <em>bengle</em>. Agar segala sesuatu selalu dalam tindak tanduk, perilaku yang suci murni. Karena putih di sini melambangkan kesucian dan ketulusan hati. Kembang telon bermakna pula sebagai pengingat agar supaya kita selalu <em>eling</em><em>waspada</em>.</span> dan </p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Kembang Tujuh Rupa</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Berupa kembang setaman ditambah jenis bunga-bunga lainnya sampai berjumlah 7 macam. Lebih sempurna bila di antara kembang tersebut terdapat kembang <em>wora-wari bang</em>. Atau sejenis bunga sepatu yang wujudnya tidak mekar, tetapi bergulung/gilig memanjang (seperti gulungan bulat memanjang berwarna merah). Ciri lainya jika pangkal bunga dihisap akan terasa segar manis. Kembang tujuh rupa, dimaksudkan supaya apa yang sedang menjadi tujuan hidupnya dapat terkabul dan terlaksana. Tujuh (Jawa; <em>pitu</em>) bermakna sebuah harapan untuk mendapatkan <em>pitulungan</em> atau pertolongan dari tuhan yang Mahakuasa.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Rujak Degan</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Atau rujak kelapa muda. Degan supaya hatinya legan, legowo. Seger sumringah, segar bugar dengan hati yang selalu <em>sumeleh, lega lila lan legawa</em>. Hatinya selalu berserah diri pada tuhan, selalu sabar, dan tulus.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Dlingo dan Bengle</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a rel="attachment wp-att-1390" href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/05/02/bahasa-simbol-makna-bunga/dlingo-bengle/"><img class="alignleft size-large wp-image-1390" title="Dlingo & Bengle" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2010/05/dlingo-bengle.jpg?w=150&h=200" alt="" width="150" height="200" /></a>Keduanya termasuk rempah-rempah, atau empon-empon. Bengle bentuk luarnya mirip jahe. Tetapi baunya sangat menyengat dan bisa membuat puisng. Sedangkan dalamnya berwarna kuning muda. Karena baunya yang<em>mblenger</em> sehingga di Indonesia jenis rempah ini tidak digunakan sebagai bumbu masak. Sebaliknya di negeri Thailand rempah ini termasuk sebagai bumbu masak utama. Entah apa sebabnya, bengle dan dlingo merupakan rempah yang sangat tidak disukai oleh bangsa lelembut. Sehingga masyarakat Jawa sering memanfaatkannya sebagai sarana penolak bala atau gangguan berbagai makhluk halus. Anda dapat membuktikannya secara sederhana. Bila ada orang gila yang dicurigai karena <em>ketempelan</em> mahluk halus, atau jika ada seseorang sedang kesurupan, coba saja anda ambil bengle, atau parutan bengle, lalu oleskan di bagian tubuhnya mana saja, terutama di bagian tengkuk. Anda akan melihat sendiri bagaimana reaksinya. Biasanya ia akan ketakutan atau berteriak histeris lalu sembuh dari kesurupan. Dalam tradisi Jawa, jika ada orang meninggal dunia biasanya disiapkan parutan bengle dicampur dengan sedikit air digunakan sebagai pengoles bagian belakang telinga. Gunanya untuk menangkal <em>sawan</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Bahkan pengalaman saya pribadi, setiap hidung ini mencium bau bengle, menandakan ada seseorang yang berada di dekat saya waktu itu, yang akan meninggal dunia.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Dlingo bengle, walaupun keduanya sangat berbeda bentuk dan rupanya, tetapi baunya seolah matching, sangat serasi dan sekilas baunya hampir sama. Dlingo dan bengle ebrmanfaat pula sebagai sarana memasaang pagar gaib di lingkungan rumah tinggal. Dengan cara ; dlingo dan bengle ditusuk bersama seperti sate, lalu di tanam di setiap sudut pekarangan atau rumah.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Begitulah pelajaran berharga yang kini sering dianggap remeh bagi yang merasa diri telah suci dan kaya pengetahuan. Di balik semua itu sungguh memuat nilai adiluhung sebagai “pusaka” warisan leluhur, nenek moyang kita, nenek moyang bangsa ini sebagai wujud sikapnya yang bijaksana dalam memahami jagad raya dan segala isinya. Doa tak hanya diucap dari mulut. Tetapi juga diwujudkan dalam bergai simbol dan lambang supaya hakekat <em>pepeling</em>/ajaran yang ada di dalamnya mudah diingat-ingat untuk selalu dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Ajaran adiluhung yang di dalamnya penuh arti, sarat dengan filsafat kehidupan. Kaya akan makna alegoris tentang moralitas dan spiritualitas dalam memahami jati diri alam semesta, jagad nusantara, serta jagad kecil yang ada dalam diri kita pribadi.</span></p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-30046045804357229632010-09-19T06:00:00.000-07:002010-09-19T06:01:35.999-07:00tata cara selametan weton<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">TATA CARA BANCAKAN WETON</span></h2> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><img class="alignleft size-medium wp-image-1238" title="Bancakan Weton" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/tumpeng-ruwat.jpg?w=187&h=250" alt="Bancakan Weton" width="187" height="250" />Bancakan weton dilakukan tepat pada <em>hari weton</em> kita. Dalam tradisi Jawa, seseorang harus dibuatkan bancakan weton minimal sekali selama seumur hidup. Namun akan lebih baik dilakukan paling tidak setahun sekali. Apabila seseorang sudah merasakan sering mengalami kesialan (<em>sebel-sial</em>), ketidakberuntungan, selalu mengalami kejadian buruk, biasanya dilakukan bancakan weton selama 7 kali berturut-turut, artinya sekali bancakan setiap 35 hari, selama 7 bulan berturut-turut.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </p><p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/">MANFAAT BANCAKAN</a></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Manfaat dan tujuan <em>bancakan weton</em> adalah untuk “<em>ngopahi sing momong</em>”, karena masyarakat Jawa percaya dan memahami jika setiap orang ada yang <em>momong</em> (<em>pamomong</em>) atau “pengasuh dan pembimbing” secara metafisik. <em>Pamomong</em> bertugas selalu membimbing dan mengarahkan agar seseorang tidak salah langkah, agar supaya <em>lakune</em> selalu<em> pener, </em>dan<em> pas</em>. <em>Pamomong</em> sebisanya selalu menjaga agar kita bisa terhindar dari perilaku yang keliru, tidak tepat, ceroboh, merugikan. Antara <em>pamomong</em> dengan yang <em>diemong</em> seringkali terjadi kekuatan tarik-menarik. <em>Pamomong</em> menggerakkan ke arah <em>kareping rahsa</em>, atau mengajak kepada hal-hal baik dan positif, sementara yang <em>diemong</em> cenderung menuruti <em>rahsaning karep</em>, ingin melakukan hal-hal semaunya sendiri, menuruti keinginan negative, dengan mengabaikan kaidah-kaidah hidup dan melawan tatanan yang akan mencelakai diri pribadi, bahkan merusak ketenangan dan ketentraman masyarakat. Antara <em>pamomong</em> dengan yang <em>diemong</em> terjadi tarik menarik, Dalam rangka tarik-menarik ini, <em>pamomong</em> tidak selalu memenangkan “pertarungan” alias kalah dengan yang <em>diemong</em>. Dalam situasi demikian yang <em>diemong</em> lebih condong untuk selalu mengikuti <em>rahsaning karep</em> (nafsu). Bahkan tak jarang apabila seseorang kelakuannya sudah tak terkendali atau mengalami disorder, <em>sing momong</em> biasanya sudah enggan untuk memberikan bimbingan dan asuhan. Termasuk juga bila yang <em>diemong</em> mengidap penyakit jiwa. Dalam beberapa kesempatan saya pernah <em>nayuh</em> si <em>pamomong</em> seseorang yang sudah mengalami disorder misalnya kelakuannya liar dan bejat, sering mencelakai orang lain, ternyata <em>pamomong</em> akhirnya meninggalkan yang diemong karena sudah enggan memberikan bimbingan dan asuhan kepada seseorang tersebut. <em>Pamomong</em> sudah tidak lagi mampu mengarahkan dan membimbingnya. Apapun yang dilakukan untuk mengarahkan kepada segala kebaikan, sudah sia-sia saja.<span id="more-1237"></span></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Kebanyakan kasus pada seseorang yang mengalami <em>disorder</em> biasanya sang <em>pamomong</em>-nya diabaikan, tidak dihargai sebagaimana mestinya padahal pamomong selalu mencurahkan perhatian kepada yang <em>diemong</em>, selalu mengajak kepada yang baik, tepat, <em>pener</em> dan pas. Sehingga hampir tidak pernah terjadi interaksi antara diri kita dengan yang <em>momong</em>. Dalam tradisi Jawa, interaksi sebagai bentuk penghargaan kepada <em>pamomong</em>, apalagi <em>diopahi</em> dengan cara membuat <em>bancakan</em> weton. Eksistensi <em>pamomong</em> oleh sebagian orang dianggapnya sepele bahkan sekedar mempercayai keberadaannya saja dianggap sirik. Tetapi bagi saya pribadi dan kebanyakan orang yang mengakui eksistensi dan memperlakukan secara bijak akan benar-benar menyaksikan daya efektifitasnya. Kemampuan diri kita juga akan lebih optimal jika dibanding dengan orang yang tidak pernah melaksanakan <em>bancakan weton</em>. Selama ini saya mendapat kesaksian langsung dari teman-teman yang saya anjurkan agar <em>mem-bancaki</em> wetonnya sendiri. Mereka benar-benar merasakan manfaatnya bahkan seringkali secara spontan memperoleh kesuksesan setelah melaksanakan <em>bancakan weton</em>. Hal itu tidak lain karena daya metafisis kita akan lebih maksimal bekerja. Katakanlah, antara batin dan lahir kita akan lebih seimbang, harmonis dan sinergis, serta keduanya baik fisik dan metafisik akan menjalankan fungsinya secara optimal untuk saling melengkapi dan menutup kelemahan yang ada. Bancakan weton juga tersirat makna, penyelarasan antara lahir dengan batin, antara jasad dan sukma, antara alam sadar dan bawah sadar.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/">SIAPAKAH SEBENARNYA SANG </a><em><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/">PAMOMONG</a></em><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/"> ?</a></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Pertanyaan di atas seringkali dilontarkan. Saya pribadi terkadang merasa canggung untuk menjelaskan secara detil, oleh karena tidak setiap orang mampu memahami. Bahkan seseorang yang bener-bener tidak paham siapa yang momong, kemudian bertanya, namun setelah dijawab toh akhirnya membantah sendiri. Seperti itulah karakter pikir sebagian anak zaman sekarang yang terlalu “menuhankan” rasio dan sebagian yang lain <strong>tidak menyadari bahwa dirinya sedang tidak sadar</strong>. Apapun reaksinya, kiranya saya tetap perlu sekali menjelaskan siapa jati diri <em>sang pamomong</em> ini agar supaya para pembaca yang budiman yang memiliki antusiasme akan luasnya bentang sayap keilmuan, dan secara dinamis berusaha menggapai kualitas hidup lebih baik dari sebelumnya dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih luas.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em>Pamomong</em>, atau <em>sing momong</em>, adalah <em>esensi energy</em> yang selalu mengajak, mengarahkan, membimbing dan mengasuh diri kita kepada sesuatu yang tepat, <em>pas</em> dan <em>pener</em> dalam menjalani kehidupan di dunia ini. <em>Esensi energy</em> dapat dirasakan bagaikan medan listrik, yang mudah dirasakan tetapi sulit dilihat dengan mata wadag. Jika eksistensi listrik dipercaya ada, karena bisa dirasakan dan dibuktikan secara ilmiah. Sementara itu eksistensi <em>pamomong</em> sejauh ini memang bisa dirasakan, dan bagi masyarakat yang masih awam pembuktiannya masih terbatas pada prinsip-prinsip silogisme setelah menyaksikan dan mersakan realitas empiris. <em>Pamomong</em> diakui eksistensinya setelah melalui proses konklusi dari pengalaman unik (<em>unique experience</em>) yang berulang terjadi pada diri sendiri dan yang dialami banyakan orang. Lain halnya bagi sebagian masyarakat yang pencapaian spiritualitasnya sudah memadai dapat pembuktiannya tidak hanya sekedar merasakan saja, namun dapat menyaksikan atau melihat dengan jelas siapa sejatinya sang <em>pamomong</em> masing-masing diri kita. Dalam pembahasan khusus suatu waktu akan saya uraikan secara detail mengenai <em>jati diri</em> sang <em>Pamomong</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/">TATACARA WETONAN</a></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><img class="alignleft size-large wp-image-1247" title="Perhatikan "Sate" di pucuk tumpeng" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/bancakan-selapan-hari.jpg?w=150&h=200" alt="Perhatikan "Sate" di pucuk tumpeng" width="150" height="200" />Setiap anak baru lahir, orang tuanya membuat bancakan weton pertama kali biasanya pada saat usia bayi menginjak hari ke 35 (<em>selapan</em> hari). Bancakan weton dapat dilaksanakan tepat pada acara upacara <em>selapanan</em> atau selamatan <em>ulang weton</em> yang pertama kali. Anak yang sering dibuatkan <em>bancakan weton</em> secara rutin oleh orangtuanya, biasanya hidupnya lebih terkendali, lebih berkualitas atau bermutu, lebih hati-hati, tidak liar dan ceroboh, dan jarang sekali mengalami sial. Bahkan seorang anak yang sakit-sakitan, sering jatuh hingga berdarah-darah, nakal bukan kepalang, setelah dibuatkan <em>bancakan weton</em><em>bancakan weton</em>. Masih banyak lagi yang tak bisa saya ceritakan di sini.</span> si anak tidak lagi sakit-sakitan, dan tidak nakal lagi. Dalam beberapa kasus saya menyaksikan sendiri seorang anak sakit panas, sudah di bawa periksa dokter tetap belum ada tanda-tanda sembuh, lalu setelah dibikinkan bancakan weton hanya selang 2 jam sakit demannya langsung sembuh. Inilah sekelumit contoh yang sering saya lihat dengan mata kepala sendiri persoalan di seputar </p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Mungkin para pembaca yang budiman memiliki banyak pengalaman spiritual di seputar soal weton, saya berharap anda berkenan untuk berbagi kisah di sini agar bermanfaat bagi kita semua. Baiklah, pada kesempatan ini saya akan paparkan secara singkat <em>uborampe</em> untuk membuat bancakan weton.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>BAHAN-BAHAN</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>1. Tujuh macam sayuran<span style="font-weight: normal;"> : kacang panjang dan kangkung (harus ada), kubis, kecambah/tauge yang panjang, wortel, daun kenikir, bayam, dll bebas memilih yang penting jumlahnya ada 7 macam. Seluruh sayuran direbus sampai masak, tetapi jangan sampai mlonyoh, atau terlalu matang. Agar tidak mlonyoh, setelah diangkat langsung disiram dengan air es atau cukup disiram air dingin biasa, sehingga sayuran masih tampak hijau segar tetapi sudah matang.</span></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-weight: normal;"><img class="aligncenter size-thumbnail wp-image-1248" title="Bancakan weton" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/bancakan-weton.jpg?w=293&h=219" alt="Bancakan weton" width="293" height="219" /><br /></span></strong></span></p> <p style="font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong> ; 7 macam sayur, tuju atau (<em>Jawa; pitu</em>), yakni mengandung sinergisme harapan akan mendapat <em>pitulungan</em> (pertolongan) Tuhan. Kacang panjang dan kangkung tidak boleh dipotong-potong, biarkan saja memanjang apa adanya. Maknanya adalah doa panjang rejeki, panjang umur, panjang usus (sabar), panjang akal.</span></p> <p style="font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>2. Telur ayam</strong> (bebas telur ayam apa saja). Jumlah telur bisa 7, 11, atau 17 butir anda bebas menentukannya. Telur ayam direbus lalu dikupas kulitnya.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong> ; jumlah telur 7 (<em>pitu</em>), 11 (<em>sewelas</em>), 17 (<em>pitulas</em>) bermaksud sebagai doa agar mendapatkan <em>pitulungan</em> (7), atau <em>kawelasan</em> (11), atau <em>pitulungan</em> dan <em>kawelasan</em> (17).</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>3. Bumbu urap atau </strong><strong><em>gudangan</em></strong>. Jika yang diberi <em>bancakan weton</em> masih usia kanak-kanak sampai usia <em>sewindu</em> (8 tahun) bumbunya <strong>tidak pedas</strong>. Usia lebih dari 8 tahun bumbu urap/gudangannya <strong>pedas</strong>. <strong>Bumbu<em> </em>gudangan</strong> terdiri : kelapa agak muda diparut. Diberi bumbu masak sbb : bawang putih, bawang merah, ketumbar, daun salam, laos, daun jeruk purut, sereh, gula merah dan garam secukupnya. Kalau bumbu pedas tinggal menambah cabe secukupnya. Kelapa parut dan bumbu dicampur lalu dibungkus daun pisang dan dikukus sampai matang.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya </strong>: bumbu pedas menandakan bahwa seseorang sudah berada pada rentang kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang penuh manis, pahit, dan getir. Hal ini melambangkan falsafah Jawa yang mempunyai pandangan bahwa pendidikan kedewasaan anak harus dimulai sejak dini. Pada saat anak usia lewat sewindu sudah harus belajar tentang kehidupan yangs sesungguhnya. Karena usia segitu adalah usia yang paling efektif untuk sosialisasi, agar kelak menjadi orang yang pinunjul, mumpuni, perilaku utama, bermartabat dan bermanfaat bagi sesama manusia, seluruh makhluk, lingkungan alamnya.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>4. Empat macam<em> polo-poloan</em></strong>. Terdiri dari; 1) <em>polo gumantung</em> (umbi yang tergantung di pohon misalnya; pepaya), 2) <em>polo kependem</em> (tertaman dalam tanah) misalnya <em>telo</em> (singkong), 3) <em>polo</em> rambat atau yang merambat misalnya ubi jalar. 4) kacang-kacangan bisa diwakili dengan kacang tanah. Semuanya direbus kecuali papaya. Papaya boleh utuh atau separoh/sepotong saja.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><img class="aligncenter size-thumbnail wp-image-1249" title="Bubur 7 Rupa, buah-buahan & jajanan pasar" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/uborampe-selapan-hari.jpg?w=293&h=219" alt="Bubur 7 Rupa, buah-buahan & jajanan pasar" width="293" height="219" /></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>5. Nasi Tumpeng Putih</strong>. Beras dimasak (nasi) untuk membuat tumpeng. Perkirakan mencukupi untuk minimal 7 porsi. Sukur lebih banyak misalnya untuk 11 atau 17 porsi. Setelah nasi tumpeng selesai dibuat dan di doakan, lalu dimakan bersama sekeluarga dan para tetangga. Jumlah minimal orang yang makan usahakan 7 orang, semakin banyak semakin baik, misalnya 11 orang, 17 orang. Porsi nasi tumpeng boleh dibagi-bagikan ke para tetangga anda.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong>, dimakan 7 orang dengan harapan mendapat <em>pitulungan</em> yang berlipat tujuh. Jika 11 orang, berharap mendapat <em>kawelasan</em> yang berlipat sebelas. 17 berharap mendapat <em>pitulungan</em> lan <em>kawelasan</em> berlipat 17. Namun hal ini hanya sebagai harapan saja, perkara terkabul atau tidak hal itu menjadi “hak prerogatif” Tuhan.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>6. Alat-alat kelengkapan </strong>: 1) <strong>daun pisang</strong> secukupnya, digunakan sebagai alas tumpeng (lihat gambar). 2) <strong><em>kalo</em></strong> (saringan santan) harus yang baru atau belum pernah digunakan. 3) <strong>cobek</strong> tanah liat yang baru atau belum pernah digunakan. Cara menggunakannya lihat dalam gambar.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/">7. Makanan jajan pasar</a></strong>. Terdiri dari makanan tradisional yang ada di pasar. Misalnya makanan terbuat dari ketan; wajik, jadah, awug, puthu, lemper dll. Makanan yang terbuat dari beras ; apem, cucur, mandra. Serta dilengkapi buah-buahan yang ditemui di pasar seperti salak, rambutan, manggis, mangga, kedondong, pisang. Semuanya dibeli secukupnya saja, jangan terlalu banyak, jangan terlalu sedikit.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong> ; kesehatan, rejeki, keselamatan, supaya selalu lengket, menyertai kemanapun pergi, dan dimanapun berada.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>8. Kembang setaman</strong> (terdiri dari ; mawar merah, mawar putih, kantil, melati, kenanga).</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><img class="aligncenter size-large wp-image-1241" title="Kembang Setaman" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/kembang-setaman.jpg?w=150&h=200" alt="Kembang Setaman" width="150" height="200" /></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong> : kembang setaman masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Misalnya bunga mawar ; <em>awar-awar</em> supaya hatinya selalu tawar dari segala nafsu negatif. Bunga melati, <em>melat-melat ing ati</em> selalu <em>eling</em> dan <em>waspada</em>. Bunga <em>kenanga</em>, agar selalu terkenang atau teringat akan <em>sangkan paraning dumadi</em>. Kanthil supaya <em>tansa</em><em>h</em><em> kumanthil</em>, hatinya selalu terikat oleh tali rasa dengan para leluhur yang menurunkan kita, kepada orang tua kita, dengan harapan kita selalu berbakti kepadanya. Kanthil sebagai <em>pepeling</em> agar supaya kita jangan sampai menjadi anak atau keturunan yang durhaka kepada orang tua, dan kepada para leluhurnya, leluhur yang menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>9. Uang Logam</strong> (koin) Rp.100 atau 500, atau 1000. (Cara menyajikan lihat gambar).</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>10. Bubur 7 rupa</strong> : bahan dasar bubur putih atau gurih (santan dan garam) dan bubur merah atau bubur manis (ditambah gula jawa dan garam secukupnya). Selanjutnya dibuat menjadi 7 macam kombinasi; bubur merah, bubur putih, bubur merah silang putih, putih silang merah, bubur putih tumpang merah, merah tumpang putih, baro-baro (bubur putih ditaruh sisiran gula merah dan parutan kelapa secukupnya).</span></p> <p style="font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong> : bubur merah adalah lambang ibu. Bubur putih lambang ayah. Lalu terjadi hubungan silang menyilang, timbal-balik, dan keluarlah bubur baro-baro sebagai kelahiran seorang anak. Hal ini menyiratkan <em>ilmu sangkan</em>, asal mula kita. Menjadi pepeling agar jangan sampai kita menghianati ortu, menjadi anak yang durhaka kepada orang tua.</span></p> <p style="text-align: center; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><img class="aligncenter size-large wp-image-1245" title="bubur 7 rupa" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/bubur7rupa.jpg?w=267&h=200" alt="bubur 7 rupa" width="267" height="200" /></span></p> <p style="font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><img class="aligncenter size-large wp-image-1240" title="bubur 7 rupa" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/bubur7rupa21.jpg?w=150&h=200" alt="bubur 7 rupa" width="150" height="200" /></span></p> <p style="text-align: center; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a href="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/image101.jpg?w=150"><img class="size-large wp-image-1239 aligncenter" title="Perhatikan Kalo & Daun Pisang" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/image101.jpg?w=150&h=200" alt="Perhatikan Kalo & Daun Pisang" width="150" height="200" /></a></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>11. Membuat teh tubruk dan kopi tubruk</strong>. Di tambah rujak degan (klamud) menggunakan air kelapa ditambah gula merah dan garam secukupnya. Sajikan dalam gelas atau cangkir tetapi jangan ditutup.</span></p> <p style="text-align: center; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><img class="aligncenter size-thumbnail wp-image-1251" title="Kopi & Teh Tubruk, Rujak Kelapa Muda, Kembang Setaman, Tambahan Wedang Jahe" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2009/11/file0217.jpg?w=293&h=219" alt="FILE0217" width="293" height="219" /></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/">CARA MENYAJIKAN</a></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-weight: normal;"><strong>1. Buatlah “sate”</strong> terdiri dari (urutkan dari bawah); cabe merah (posisi horizontal), bawang merah, telur rebus utuh dikupas kulitnya (posisi vertical), dan cabe merah posisi vertical (lihat dalam gambar). “Sate” ditancapkan di pucuk tumpeng.</span></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya </strong>; kehidupan ini penuh dengan pahit, getir, pedas, manis, gurih. Untuk menuju kepada Hyang Maha Tunggal banyak sekali rintangannya. Sate ditancapkan di pucuk tumpeng mengandung pelajaran bahwa untuk mencapai kemuliaan hidup di dunia (kemuliaan) dan setelah ajal (surga atau kamulyan sejati) semua itu tergantung pada diri kita sendiri. Jika meminjam istilah, <em>habluminannas</em> merupakan sarat utama dalam menggapai <em>habluminallah</em>. Hidup adalah perbuatan nyata. Kita mendapatkan ganjaran apabila hidup kita bermanfaat untuk sesama manusia, sesama makhluk Tuhan yang tampak maupun yang tidak tampak, termasuk binatang dan lingkungan alamnya.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>2. Nasi tumpeng</strong> dicetak kerucut besar di bawah runcing di bagian atas. Tumpeng letakkan tepat di tengah-tengah <em>kalo</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong> ; nasi tumpeng sebagai wujud doa, sekaligus keadaan di dunia ini. Segala macam dan ragam yang ada di dunia ini adalah bersumber dari Yang Satu. Dilambangkan sebagai tumpeng berbentuk kerucut di atas. Makna lainnya bahwa segala macam doa merupakan upaya sinergisme kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu, di bagian bawah tumpeng bentuknya lebar dan besar, semakin ke atas semakin kerucut hingga bertemu dalam satu titik. Satu titik itu menjadi pucuk atau penyebab dari segala yang ada (causa prima) melambangkan eksistensi Tuhan sebagai episentrum dari segala episentrum.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>3. Tujuh macam sayur</strong> ditata mengelilingi tumpeng serta bumbu gudangan/urap diletakkan di antaranya. Makna 7 macam sayur sudah saya ungkapkan di atas. Sayur di tata mengelilingi tumpeng. Tumpeng sebagai pusatnya energy ada di tengah. Energy diisi dengan segala hal yang positif seperti harmonisasi symbol angka 7 (<em>nyuwun pitulungan</em>).</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>4. Telur rebus</strong> boleh utuh atau dibelah menjadi dua, ditata mengelilingi nasi tumpeng (lihat gambar).</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong> : telur merupakan asal muasal terjadinya makhluk hidup. dalam serat Wedhatama karya Gusti Mangkunegoro ke IV, telur melambangkan proses meretasnya kesadaran ragawi (sembah raga) menjadi kesadaran ruhani (sembah jiwa). Dua kesadaran itu akan menghantarkan menjadi menusia yang sejati (sebagai kiasan dari proses menetas menjadi anak ayam). Dalam cerita pewayangan telur juga melambangkan proses terjadinya dunia ini. Kuning telur sebagai perlambang dari <strong>cahya sejati</strong> (<strong><em>manik maya</em></strong>), putih telur sebagai <strong>rasa sejati</strong> (<strong><em>teja maya</em></strong>). Keduanya <em>ambabar jati </em> menjadi <strong>Kyai Semar</strong>. Dengan perlambang telur, kita diharapkan selalu <em>eling sangkan</em> (ingat asal muasal), menghargai dan memahami eksistensi sang <strong>Guru Sejati</strong> kita yang tidak lain adalah <em>sukma sejati</em> yang dilimput oleh <em>rasa sejati</em> dan disinari sang <em>cahya sejati</em>. Inilah unsur Tuhan yang ada dalam diri kita. Dan yang paling dekat; <em>adoh tanpa wangenan, cedak tanpa senggolan</em> (jauh tanpa jarak, dekat tanpa bersentuhan). Lebih dekat dari urat leher. Inilah <strong>salah satu</strong> sang <em>Pamomong</em> yang kita hargai eksistensinya melalui <em>bancakan weton</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em>5. Kalo</em></strong> diletakkan di atas cobek (<em>kalo</em> dialasi dengan cobek).</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Maknanya</strong> : Cobek merupakan makna dari bumi (tanah) tempak kita berpijak. Nasi tumpeng dan segala isinya yang diletakkan dalam <em>kalo</em> jika tidak dialasi cobek bisa terguling. Hal ini mensyiratkan makna hendaknya menjalani hidup di dunia ini ada keseimbangan atau harmonisasi antara jasmani dan rohani. Antara unsur bumi dan unsur Tuhan. Antara kebutuhan raga dengan kebutuhan jiwa, sehingga menjadi manusia sejati yang meraih kemerdekaan lahir dan kemerdekaan batin.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>6. Daun pisang</strong> dihias sedemikian rupa sesuai selera sebagai alas meletakkan tumpeng dan sayuran. Daun yang hijau adalah lambang kesuburan dan pertumbuhan. Maknanya adalah pengharapan doa negeri kita maupun pribadi kita selalu diberkati Tuhan sebagai negeri yang subur makmur, ijo royo-royo, kita menjadi pribadi yang subur makmur, dapat menciptakan kesuburan bagi alam sekitar dan kepada sesama makhluk hidup.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>7. Sisa guntingan atau potongan daun pisang</strong>, hendaknya diletakkan di antara cobek dengan <em>kalo</em>. Jangan lupa <strong>letakkan uang logam bersama sampah sisa potongan daun pisang</strong>. Hal ini bermakna segala macam “sampah kehidupan”, <em>sebel sial</em>, sifat-sifat buruk ditimbun atau dikendalikan oleh segala macam perilaku kebaikan sebagaimana tersirat di dalam seluruh isi <em>kalo</em>. Uang logam merupakan perlambang dari harta duniawi. Hal ini mengandung pepeling (peringatan) bahwasanya harta karun dan segala macam perhiasan duniawi ibarat sampah tidak akan berharga apa-apa jika tidak digunakan sebagai sarana <em>laku prihatin</em>. Hal itu menjadikan harta kita tak ubahnya seperti sampah yang mengotori kehidupan kita. Maka, <strong>jadilah orang kaya harta yang</strong><strong> selalu</strong><strong> prihatin</strong>. Manfaatkan harta kita untuk memberi dan menolong orang lain yang sangat butuh pertolongan dan bantuan, agar tangan kita lebih mampu “telungkup”, agar jangan sampai kita menjadi orang-orang fakir yang telapak tangannya selalu tengadah dan menjadi beban orang lain.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>8. Kembang setaman</strong> ditaruh dalam mangkok/baskom isi air mentah. Jika ingin menambah dengan dupa ratus / semacam “dupa manten” bisa dibakar sekalian pada saat merapal doa dan japa mantra.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Setelah seluruh uborampe bancakan weton selesai dibuat. Seluruh ubo rampe bancakan diletakkan di dalam kamar yang sedang dibancaki weton. Selanjutnya dirapal mantra dan doa, usahakan yang merapal mantra atau doa seorang pepunden anda yang masih hidup. Misalnya orang tua anda, bude, bulik, atau orang yang anda tuakan/hormati. Adapun doa dan rapalnya secara singkat dan sederhana sbb :</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em> </em></span></p> <p style="text-align: center; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><strong>“Kyai among nyai among</strong></em><strong>, ngaturaken pisungsung kagem para leluhur ingkang sami nurunaken jabang bayine…. (diisi nama anak/orang yang diwetoni) mugi tansah kersa njangkung lan njampangi lampahipun, dados lare/tiyang ingkang tansah hambeg utama, wilujeng rahayu, mulya, sentosa lan raharja. Wilujeng rahayu kang tinemu, bondo lan bejo kang teko. Kabeh saka kersaning Gusti”.</strong></span></p> <p style="text-align: center; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>(Kyai among nyai among, perkenankan menghaturkan persembahan untuk para leluhur yang menurunkan jabang bayi ….(sebut namanya), semoga selalu membimbing, mengarahkan setiap langkahnya, agar menjadi orang yang berbudi pekerti luhur, selamat dan mulia dunia akhirat. Selamat selalu didapat, sukses dan keberuntungan selalu datang. Semua atas izin Tuhan)</strong></span></p> <span style="font-size:100%;"><strong style="font-family: verdana;"><span style="font-weight: normal;">Setelah bancakan dihaturkan, tinggalkan sebentar sekitar 10-20 menit lalu dihidangkan di ruang makan atau diedarkan ke para tetangga untuk dimakan bersama-sama. Demikian share saya ttg bancakan weton, semoga bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkan</span></strong></span>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-16594470580094024122010-09-19T05:57:00.000-07:002010-09-19T05:58:20.595-07:00Eling lan Waspada<h2 style="color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">Apa Maksud Eling & Waspada ?</span></h2> <h2 style="text-align: center; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>ELING & WASPADA !!!!!!!</strong></span></h2> <h3 style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Dua buah kata populer yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami apa makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlulah kiranya ada sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi pada saat di mana alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.</span></h3> <h3 style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em>ELING</em> DIMENSI KETUHANAN</span></h3> <ol style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><li> <h3><span style="font-size:100%;">Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita ada. Dari Tuhan dicipta melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.</span></h3> </li><li> <h3><span style="font-size:100%;">Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai syarat utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nanti, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas untuk menggapai habluminallah.</span></h3> </li></ol> <p style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong> </strong></span></p> <h3 style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-weight: normal; font-size: 13px;"><strong><span style="font-size: medium;"><em>ELING</em></span></strong><span style="font-size: medium;"><strong> DIMENSI KEMANUSIAAN</strong></span></span></span></h3> <ol style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><li> <h3><span style="font-size:100%;">Di samping manembah kepada Tuhan. Adalah keutamaan untuk eling sebagai manusia yang hidup bersama dan berdampingan sesama makhluk Tuhan. Instrospeksi diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur, atau mulat laku kautamaning bebrayan. Dengan melakukan perenungan diri, mengingat atau eling dari mana dan siapa kita punya (behave), kita menjadi, kita berhasil, kita sukses. Kita tidak boleh “ngilang-ilangke” atau menghilangkan jejak dan tidak menghargai jasa baik orang lain kepada kita. Sebaliknya, eling sangkan paraning dumadi, berarti kita dituntut untuk bisa niteni kabecikaning liyan. Mengerti dan memahami kebaikan orang lain kepada kita. Bukan sebaliknya, selalu menghitung-hitung jasa baik kita kepada orang lain. Jika kita ingat dari mana asal muasal kesuksesan kita saat ini, kita akan selalu termotifasi untuk membalas jasa baik orang lain pernah lakukan. Sebab, hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang lainnya secara estafet.</span></h3> </li><li> <h3><span style="font-size:100%;">Eling bermakna sebagai pedoman tapa ngrame, melakukan kebaikan tanpa pamrih. Tidak hanya itu saja, kebaikan yang pernah kita lakukan seyogyanya dilupakan, dikubur dalam-dalam dari ingatan kita. Dalam pepatah disebutkan,” kebaikan orang lain tulislah di atas batu, dan tulislah di atas tanah kebaikan yang pernah kamu lakukan”. Kebaikan orang lain kepada diri kita “ditulis di atas batu” agar tidak mudah terhapus dari ingatan. Sebaliknya kebaikan kita “ditulis di atas tanah” agar mudah terhapus dari ingatan kita.</span></h3> </li><li> <h3><span style="font-size:100%;">Eling siapa diri kita untuk tujuan jangan sampai bersikap sombong atau takabur. Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi dan menahan diri untuk tidak menyerang kelemahan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah Jawi ; tidak benci jika dicaci, tidak tidak gila jika dipuji, teguh hati, dan sabar walaupun kehilangan.</span></h3> </li></ol> <h3 style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">WASPADA</span></h3> <ol style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><li> <h3><span style="font-size:100%;">Waspada akan hal-hal yang bisa menjadi penyebab diri kita menjadi hina dan celaka. Hina dan celakanya manusia bukan tanpa sebab. Semua itu sebagai akibat dari sebab yang pernah manusia lakukan sendiri sebelumnya. Hukum sebab akibat ini disebut pula hukum karma. Manusia tidak akan luput dari hukum karma, dan hukum karma cepat atau lambat pasti akan berlangsung. Sikap waspada dimaksudkan untuk menghindari segala perbuatan negatif destruktif yang mengakibatkan kita mendapatkan balasannya menjadi hina, celaka dan menderita. Misalnya perbuatan menghina, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia, makhluk, maupun lingkungan alam.</span></h3> </li><li> <h3><span style="font-size:100%;">Waspada, atas ucapan, sikap dan perbuatan kita yang kasat mata yang bisa mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam.</span></h3> </li><li> <h3><span style="font-size:100%;">Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama mewaspadai diri sendiri dalam getaran-getaran halus. Meliputi solah (perilaku badan) dan bawa (perilaku batin). Getaran nafsu negatif yang kasar maupun yang lembut. Mewaspadai apakah yang kita rasakan dan inginkan merupakan osiking sukma (gejolak rahsa sejati yang suci) ataukah osiking raga (gejolak nafsu ragawi yang kotor dan negatif). Mewaspadai diri sendiri berati kita harus bertempur melawan kekuatan negatif dalam diri. Yang menebar aura buruk berupa nafsu untuk cari menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois), benernya sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung, adiguna. Dan nafsu aji mumpung: ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani.</span></h3> </li><li> <h3><span style="font-size:100%;">Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (nggayuh kawicaksananing Gusti). Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat.</span></h3> </li></ol> <h3 style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Esensi dari sikap <em>eling</em> dan <em>waspada</em> adalah berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap keluhuran budi, arif dan bijaksana. Mendasari semua itu dengan “agama universal” yakni cinta kasih sayang berlimpah. Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan seperti tersebut di atas, diperlukan untuk menghindari hukum karma (hukum sebab-akibat) yang buruk, dan sebaliknya mengoptimalkan “hukum karma” yang baik. Hukum karma, misalnya seperti terdapat dalam ungkapan peribahasa ; sing sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam, barang siapa menabur angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum karma akan mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah anda lakukan kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi PAGAR GAIB yang sejati bagi diri anda sendiri.</span></h3> <h4 style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0); font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em>Duh Gusti Ingkang Murbeng Gesang, walaupun tanda-tanda dan bahasa alam telah Engkau tunjukkan bahkan dalam gambaran yang sangat jelas, walaupun terasa suram dan menakutkan menatap kedepan di bulan September ini, perkenankan diri ini ndableg tetap memohon-mohon tanpa malu untuk yang kesekian kalinya. Anugerahkan keselamatan, kesehatan, ketentraman, kecukupan rejeki untuk seluruh saudara-saudaraku, sahabatku, seluruh pembaca yang budiman yang sempat mampir ke gubuk ini serta seluruh saudara-saudara sebangsa setanah air, yang beragama, bersuku, ras, bahasa apapun juga, dan di manapun berad</em></span></h4>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-27824249604238564782010-09-19T05:54:00.000-07:002010-09-19T05:55:24.986-07:00Tanda - Tanda Pencapaian Neng,nung,ning,nang<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">TANDA-TANDA PENCAPAIAN Neng Ning Nung Nang</span></h2> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN">TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><br /></span></strong></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">TINGKAT 1 (<em>Neng; sembah raga</em>) </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Jumeneng</span></em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">; menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada sesama makhluk.<span> </span>Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun sikap <em>eling </em>dan <em>waspadha</em>. Neng adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual,<span> </span>ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Kehidupan sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat dst. Namun berusaha <strong>dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. </strong>Perbuatannya mencerminkan perilaku <em>sipat zat</em> (makhluk) yang selaras dengan <em>sifat hakekat</em> (Tuhan). Tanda pencapaiannya tampak pada <strong>SOLAH. </strong><em>Solah</em><strong> </strong>artinya perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan santun, wajah ramah, <em>ngadi busana</em> atau cara berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. <span> </span>Akan tetapi perilaku tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan <strong>BAWA</strong>-nya. <strong>BAWA</strong> yakni “perilaku” batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Titik Lemah</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Pada tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang masih diselimuti <em>rahsaning karep</em> atau nafsu negatif; rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya masih nihil. <strong>Banyak orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang</strong>. <strong>Tetapi sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan</strong>. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Pada tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap <em>golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe</em>. <strong>Ini sebagai ciri seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !</strong></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><strong><br /></strong></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">TINGKAT 2 (Ning; sembah kalbu)</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Wening</span></em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> atau <em>hening</em>; ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati yang selalu <em>bersih</em> dan batinnya selalu <em>eling lan waspadha</em>. <strong><em>Eling</em></strong> adalah sadar dan memahami akan <em>sangkan paraning dumadi</em> (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai “<em>kakangne mbarep adine wuragil</em>” (lihat dalam posting; <strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/wirid-saloka-jati-memahami-jati-diri/">Saloka Jati</a></strong>). <span> </span><strong><em>Waspadha</em></strong> terhadap apa saja <span> </span>yang dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan sifat hakekat (Tuhan). <em>Ning</em> dicapai setelah hati dapat dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau <em>Neng</em>; yakni <strong>hati yg ikhlas </strong>dan<strong> tulus</strong>, hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin maupun akal budi bahwa amal perbuatan <strong>bukan semata-mata mengaharap-harap upah</strong> (pahala) dan <strong>takut ancaman</strong> (neraka). Melainkan <strong>kesadaran memenuhi kodrat Tuhan</strong>, serta menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis antara jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai melalui <strong>empat macam</strong> <strong>bertapa</strong>; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>1.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak Tuhan. Lalu<span> </span>mensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>2.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Tapa geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam hati. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>3.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Tapa banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis suatu masalah, dan tidak mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap reaksioner (<em>ora kagetan</em>), tidak berwatak mudah terheran-heran (<em>ora gumunan</em>). </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>4.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Tapa mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri. Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri. Dengan demikian seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Titik Lemah</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Jangan lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab pencapaian tataran kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan yang kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di sini adalah pentingnya sikap <strong><em>eling</em></strong> dan <strong><em>waspadha</em></strong>. Sebab kelemahan manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan segala kebaikan dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali masih menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen, <strong>setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat sepanjang usia</strong>. Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai sepanjang masa. Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan dipengaruhi<span> </span>oleh pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita saat itu.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>TINGKAT 3 (Nung; <em>sembah cipta</em>)</strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Kesinungan</span></em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataran <em>Kesinungan</em> dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Pencapaian tataran ini sama halnya <em>laku</em> hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar, tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal. Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. <strong>Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain.</strong> Sikap ini tumbuh karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">NAH, orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya, <strong>kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda.</strong> Singkat kata, pencapaian <em>Nung</em>, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “<strong><em>ngelmu beja</em></strong>”.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Untuk meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>1.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>2.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>3.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>4.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>5.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>6.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><span>7.<span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-indent: -24.75pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 42.75pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Titik Lemah</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Nung</span></em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah<span> </span>dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan BANGGA <span> </span>dengan pencapaian hakekat ini bersiko <strong>terlena</strong>. Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"><br /></span></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Nang</span></em><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang <span> </span>anda terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, <em>sipat zat</em> yg mengikuti <em>sifat hakekat</em>, menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan. Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “<em>loroning atunggil</em>“. Yang menjadi <em>jumbuh</em> (campur tak bisa dipilah) antara <em>kawula</em> dengan <em>Gusti</em>. Inilah <strong>pertanda</strong> akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “<em>manunggaling kawula-Gusti</em>“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat ditemukan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Salam sejati</span></span></p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-85677517097230860362010-09-19T05:45:00.000-07:002010-09-19T05:51:32.552-07:00Mengolah dan mempertajam hati nurani<h2 class="post-title"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;"></span>Mengolah dan Mempertajam Nurani</span></h2> <p style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><strong><em>Mangreh landeping mimising cipta, cipta panggraitaning rahsa.</em></strong><em><br /></em><strong><em>Haywa lena kaki, awit hamung pinda sak gebyaring thathit”</em></strong><em><br /></em><strong> </strong></span> </p> <p style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><strong>Agar memiliki ketajaman nalar (daya cipta/intelegensia otak), nalar harus bisa menangkap makna yang terbersit dalam nurani. </strong><br /><strong>Jangan sampai lengah anakku, sebab proses untuk menangkap gerataran nurani hanya berlangsung secepat kilat. </strong></span> </p> <p style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><strong>Nurani milik siapapun pastilah setajam “sembilu”, jika dirasa tumpul, itu bukan berarti salah nuraninya, melainkan tugas nalar sebagai <em>cipta panggraitaning rahsa </em>telah mengalami kegagalan. </strong><br /><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/">By sabdalangit</a></span> </p> <p style="text-align: justify;"> </p><p style="text-align: justify; color: rgb(255, 0, 0);"><span style="font-size:100%;"><em style="color: rgb(0, 0, 0);"><strong><span style="color: rgb(0, 128, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Tugu manik ing samodra</span> </span></strong></em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">; </span><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:100%;" ><strong style="font-weight: normal;"><span style="color: rgb(0, 128, 0);">menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.</span></strong></span></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Melanjutkan </span><em style="color: rgb(0, 0, 0);">thread </em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">terdahulu berjudul</span> <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/atur-sabdo-pambagyo/membangun-indera-ke-enam/"><strong>MEMBANGUN KESADARAN RAHSA SEJATI</strong></a><strong>,</strong><em>mandireng pribadi</em>, yakni pribadi yang memiliki kemandirian dalam menentukan mana dan apa yang paling tepat, paling baik dilakukan. <strong>Bukankah nilai manusia terletak pada kejernihan isi kalbu atau suara hati nuraninya ?!!</strong> Nurani merupakan kesadaran <em>aku</em> akan tanggungjawab dan kewajiban <em>aku</em><strong><em>ALUSING PANDULU</em></strong> atau kehalusan daya cipta, yakni kekuatan yang atau kemampuan perasaan hati nurani untuk meraba, merasakan, membedakan, dan menentukan pilihan dan keputusan hidup. <em>Alusing pandulu</em><em>kemandirian pribadi</em>. Sumber kekuatan setiap orang berada di dalam hati nuraninya sendiri-sendiri. Sementara itu untuk mengidentifikasi apakah suatu tindakan termasuk baik atau buruk merupakan tanggungjawab setiap individu. Namun hanya nalar yang telah memiliki cara befikir terbuka atau <em>open minded,</em> yakni pemikiran terbuka dan bebas menentukan pilihan dan keputusan mana yang paling tepat.<strong>Lanjut Membaca…</strong></span> tulisan berikut saya persembahkan bagi para pembaca yang budiman, para generasi penerus bangsa besar Nusantara, di manapun anda berada. Tulisan ini saya buat karena banyaknya pertanyaan baik melalui email maupun komentar-komentar di blog, tentang bagaimana teknik atau tata cara agar supaya individu mampu meraba, merasakan dan membedakan mana getaran nurani, mana pula getaran nafsu. Pertanyaan tersebut bukanlah sekedar latah, tetapi mengelola hati nurani merupakan hal yang signifikan untuk diupayakan dengan skala prioritas tinggi. Sebab ia menjadikan setiap pribadi mampu berdiri sebagai sebagai makhluk bernama manusia dalam situasi yang sungguh-sungguh konkrit dan tepat. Itulah salah satu alasan mengapa suara hati nurani idealnya selalu dipatuhi dan diikuti. Hati nurani atau dalam terminologi Jawa disebut sebagai merupakan pangkal dari otonomi dan kemerdekaan batin setiap individu, sehingga melahirkan sikap </p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><strong>NURANI ; JENDELA MENEMBUS <em>UNINONG, ANING, UNONG</em></strong></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Nalar pun faktanya sangat riskan terperangkap ke dalam oleh suatu tembok yang bernama keyakinan membabi buta. Dengan kata lain, penghalang terbesar ketajaman nurani kita adalah <strong>doktrin-doktrin yang membelenggu nalar</strong>. Baik berupa doktrin militer, doktrin budaya, doktrin seni, doktrin ideologi, hingga doktrin agama. Sebab itu efek doktrinasi lebih bersifat <strong>pengungkungan kesadaran</strong>, agar individu memiliki LOYALITAS tanpa perlu nalar. Tanpa perlu menjawab PERTANYAAN-PERTANYAAN yang timbul dari HATI NURANI. Jika dianalogikan, doktrin merupakan alat yang serupa dengan KACAMATA KUDA, sementara “kuda” adalah perumpamaan insan. Supaya kuda tetap berjalan lurus ke depan maka diperlukan kacamata (<em>baca</em>: doktrin). Sebab <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/02/12/faq-tes-kejujuran-dalam-beragama/">doktrin</a> (kacamata kuda) mempunyai prinsip keharusan/kewajiban bahwa jalan ”kebenaran” hanyalah jalan yang lurus yang hanya tampak di depannya saja. Sementara itu, adalah realitas dan fakta bahwa hidup ini banyak ditemukan “persimpangan jalan”, banyak sekali “jalan raya”, “jalan protokol”, “jalan daendels”, “jalan propinsi”, dan “jalan setapak”. Masing-masing “jalan” menuju ke satu tujuan yang sama yakni <strong>Sang Causa Prima</strong> atau <strong><em>Gusti</em></strong> (<em>bagusing ati</em>), <em>Gusti</em> ada di dalam <em>aku</em>. Setiap orang hendak mencari <em>Gusti </em>di dalam <em>aku</em>, agar supaya diri kita menjadi <em>aku</em> di dalam <em>Gusti</em>. Dalam istilah Ki Ageng Suryomentaram disebut sebagai “<strong>rasa<em>; aku bukan kramadhangsa</em></strong>” atau “<strong><em>aku kang madeg pribadi</em></strong>” atau saya sebut sebagai <strong>rahsa sejati</strong>. Itulah <strong><em>paraning dumadi</em> </strong>manusia, tak berada jauh di atas langit sana, tetapi ada dalam setiap pribadi kita masing-masing. Kesadaran ini dapat menjelaskan pula mengapa nenek moyang bangsa kita dulu jika berdoa tidak menengadah sambil menatap langit, melainkan cukup dengan telapak tangan memegang dada. Dalam maneges pun tersebutlah <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/spiritual-jawa/bagaimana-harus-berserah-diri-pada-tuhan/">NIAT INGSUN</a>, yang bermakna <em>Ingsun ing sajroning aku, Aku ing sajroning Ingsun</em>. Konsep KGPAA Mangkunegoro ke IV sebagai <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/serat-wedhatama-i/"><em>roroning atunggil</em></a><em>, dwi tunggal</em>, atau asas <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/islam-pencerahan/membedah-alam-fikiran-syekh-siti-jenar/"><em>Manunggaling Kawula kalawan Gusti</em></a>. Sebuah pelataran spiritual yang pernah pula digelar oleh Ki Ageng Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) bersama Syeh Lemah Abang sebagai UNINONG ANING UNONG.</span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Sementara itu, hati nurani selalu mampu menembus berbagai tembok penghalang, yang menghalangi obyektivitas sesungguhnya akan suatu realitas kehidupan. Nurani adalah kekuatan yang TAK BISA dikelabuhi oleh imajinasi, ilusi, dan polusi getaran nafsu. Nurani yang terasah akan menjadi “mata hati”, “mata jiwa” yang mampu menguak “kebenaran sejati”. Hanya saja, <strong>untuk menggali dan menemukan hati nurani, kita harus menggalinya dari kubangan lumpur yang penuh bakteri, kuman dan penyakit</strong>. Tulisan berikut bertujuan untuk berbagi <strong><em>kawruh</em></strong> (pengetahuan) dan <strong><em>ngelmu</em></strong> (pengetahuan spiritual), bagaimana cara paling sederhana agar kita dapat menemukan nurani yang dapat diumpamakan sebagai “berlian” yang terendam di dalam “lumpur kotor”.</span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><strong>TEKNIK MEMBUKA JENDELA </strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/02/17/jiwa-raga-sukma-nyawa/"><strong>NURANI</strong></a><strong> </strong></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Kita harus menutup panca indera untuk membuka mata batin yang berada dalam jiwa kita. Mata batin adalah mata yang dapat melihat sesuatu secara lebih cerah, jelas, dan gamblang. Kecermatan dan kemampuannya menjabarkan fakta gaib dan wadag jutaan kali melebihi panca indera. Paling tidak terdapat lima sarat agar supaya kita betul-betul mampu merasakan dan membedakan apakah sesuatu getaran merupakan getaran NURANI <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/wirid-purba-jati-mengenali-jati-diri-hakekat-neng-ning-nung-nang/">(<em>kareping rahsa</em>)</a> ataukah hanya sekedar getaran nafsu (<em>rahsaning karep</em>).</span></p> <ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size:100%;"><strong><em>Beninging ati</em></strong> atau kejernihan kalbu. Antara suara hati dan nalar manusia selalu terjadi dialog, tarik menarik, bahkan masing-masing saling “berperang” untuk berebut pengaruh dan otoritas. Jika kekuatan keduanya berimbang gejalanya dapat kita rasakan pada saat terjadi kebimbangan dan keragu-raguan. Atau sikap ambigu, dan dualisme. Sementara itu, jika nalar memenangkan jadilah pribadi yang hanya mengandalkan kemampuan rasio semata. Sehingga bagi dirinya banyak sekali hal-hal di luar nalar yang dengan segera ia tepis sebagai sesuatu yang tidak ada, omong kosong atau <em>ngoyoworo</em>. Hal-hal gaib dianggap sebagai sesuatu yang <em>non-sense</em>, dan di luar logika. Maka gaib pun dianggap omong kosong. Menurut saya pribadi, gaib pun ternyata sangat logis dan masuk akal. Jika ada hal gaib yang dianggap tidak masuk akal, ada dua kemungkinan yakni, <strong><em>pertama</em></strong>; benar-benar dongeng atau mitologi yang digaib-gaibkan. Kemungkinan <strong><em>kedua</em></strong>, nalar kita belum cukup menerima informasi akan rumus-rumus yang ada dan berlaku di dimensi gaib. Sementara itu <em>beninging ati</em> atau <em>weninging tyas</em>, akan tercipta manakala dialog, tarik-menarik, dan peperangan antara suara hati nurani dengan nalar berhenti sejenak. Saat itulah hati kita menjadi jernih, karena saat itu hati menjadi bebas merdeka dari segala bentuk “penjajahan” nalar yang seringkali terkooptasi oleh kepentingan pribadi, persepsi atau penilaian diri terhadap suatu obyek, serta ilusi dan imajinasi. Dalam dimensi lebih luas hati pun menjadi bebas dari kepentingan politik, kekuasaan, egoisme aliran, dan segala macam keinginan yang belum tercapai. Cara menghentikan dialog dan tarik-menarik antara hati dan nalar adalah dengan cara “mengalir mengikuti aliran air” atau (<em>tapa ngeli</em>). Yakni hidup dalam sikap kepasrahan. Konsentrasi pasrah bukan pada PROSES BERUSAHA atau saat berikhtiar, karena kepasrahan demikian ini merupakan konsep hidup yang salah kaprah. Pasrah yang dimaksud adalah pasrah akan ketentuan besar-kecil hasilnya akhir. Sementara itu dalam menjalani PROSESnya <em>step by step</em> kita tak boleh pasrah, tetapi harus berusaha secara maksimal, sekuat tenaga dan pikiran kita. Ada pepatah bola mengatakan,”<em>Bermainlah bola secara cantik, soal menang kalah itu bukanlah urusan kita</em>. Bila kalahpun, tetap akan menjadi “kesebelaasan” yang disegani dan dihormati orang lain. <strong>Jangan konsentrasi pada hasil akhir, tetapi konsentrasilah pada proses</strong>. Hal ini menjadi salah satu kiat sukses dalam <em>olah</em> semedi atau meditasi. Bila anda berkonsentrasi pada hasil, maka yang terjadi nalar kita akan dipenuhi oleh angan-angan. Biasanya yang terjadi adalah sebagaimana anekdot dalam bahasa Sunda sebagai berikut ; <em>MELAK LAMUN DI TANAH SUGAN, DICEBOR KU CAI MUGA-MUGA, BERSEMILAH DAUN-DAUNNA MOGA-MOGA JANTEN-moga-moga janten, NGAN HASILNA, namina EEUWWEEEUHH …! </em>Karunya teuing kan !</span></li><li><span style="font-size:100%;"><em>Sirnaning kekarepan</em> atau sirnanya <em>rahsaning karep</em>. Atau lenyapnya semua maksud jahat, keburukan, dan tindakan hina-aniaya. Hal ini berkaitan dengan perilaku dan perbuatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kita menyakiti hati orang lain, baik sadar apalagi tanpa sadar. Jangan sampai mencelakai, merugikan, menyerobot hak orang lain. Untuk menuntun perilaku demikian diperlukan sebuah kesadaran kosmologis yakni sikap <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/spiritual-jawa/eling-waspada/"><em>eling dan waspada</em></a>.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><em>Lereming pancadriya</em> atau ketenangan panca indera. Ketenangan panca indera. Dalam spiritual Jawa dikenal sebagai BABAHAN HAWA SANGA atau <em>babahan hawa (nafsumu), kosongna !</em> (bersihkanlah/kendalikanlah hawa nafsumu). Dapat pula diartikan 9 lubang pancaindera (2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 2 lubang mata, 1 lubang kemaluan, 1 lubang silit/anus, dan 1 lubang mulut = 9 lobang) kesemuanya menjadi pintu masuk hawa nafsu hendaknya dikendalikan atau “dikosongkan”. Keberhasilan mengendalikan panca indera akan memperoleh ketenangan pancaindera. Sebaliknya, kegagalan <em>lereming pancadriya</em> seseorang akan tersiksa dalam kegelisahan panjang oleh karena gejolak <strong>nafsu syahwat</strong> (<em>ngacengan/konakan/nafsuan</em>), <strong>nafsu makan</strong> (<em>mudah lapar, ngileran, ngelihan, kemaruk, rakus</em>), <strong>nafsu tidur</strong> (<em>ngantukan, moloran</em> dst), dan banyaknya <em>karep</em> atau kemauan yang diinginkan (tidak pernah puas diri, sulit bersyukur), <strong>nafsu angkara</strong> (Penyakit Hati ; <em>panasten, suka panas hatinya, mudah iri hati, drengki, serba pamrih, congkak, sombong, takabur, egois</em>. Emosi yang Labil<strong> </strong>; <em>tersinggungan, mudah sedih, mudah marah, kagetan, gumunan</em>), nafsu halus (suka gede ndase, gemar dipuji, pamrih pahala). Pola bekerjanya panca indra yang lebih dominan dalam merespon obyek kehidupan justru akan mengaburkan getaran atau bisikan nurani. Salah-salah, getaran nafsunya dianggap sebagai getaran nurani. Sementara itu lereming pancadira akan mengistirahatkan bekerjanya otak. Hal ini seperti halnya kita melakukan olah semedi atau meditasi.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><em>Jatmikaning solah bawa</em> atau perilaku lahir dan batin yang santun. <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/tanda-tanda-pencapaian-neng-ning-nung-nang/">Perilaku lahiriah</a><em>solah</em>) merupakan refleksi dari <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/tanda-tanda-pencapaian-neng-ning-nung-nang/">perilaku batin</a> (<em>bawa</em>). Jatmikaning solah bawa, merupakan wujud kekompakan perilaku yang melibatkan empat unsur yakni; hati, ucapan, pikiran dan perbuatan atau tindakan nyata. Berbekal dengan hati yang jernih akan mampu menuntun nalar kita supaya lebih cermat dalam menyeleksi mana yang baik dan mana yang buruk. Selanjutnya bermodalkan kecermatan nalar dapat mengendalikan keinginan, dan memilah memilih serta mempertimbangkan secara arif dan bijak terhadap sesuatu yang dipikirkan, diucapkan, dan diperbuat. <em>Solah</em> dan <em>bawa</em> yang keluar dari nurani memiliki karisma besar sehingga dapat menselaraskan apa yang ada di sekelilingnya dengan apa yang diinginkan dan diharapkan. Dengan kata lain, <em>jatmikaning solah bawa</em>, menebarkan aura yang kuat, bagaikan medan magnet yang akan menyedot segala sesuatu yang senyawa dan sejenis. Kebaikan dan keburukan akan terkumpul dalam kumparan yang sejenis, terkonsentrasi dalam kelompoknya masing-masing. Maka kebaikan akan berbalas dengan kebaikan yang berlipat. <em>Welas asih</em> akan berbalas kasih sayang yang berlimpah ruah. Kejahatan akan berbalas kejahatan berlipat. Limpahan itu bagaikan suara yang bergema, terucap dengan volume 7, akan berbalik menjadi suara dengan volume 14. Sebagaimana pernah saya singgung dalam <em>thread</em> terdahulu dalam <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/wirid-laksita-jati-meraih-kasampurnan-hidup/">LAKSITA JATI</a>. Begitulah rumus-rumus yang terjadi dalam hukum alam semesta. Pribadi yang menghayati <em>jatmikaning solah bawa</em> gerak-gerik, tingkah laku, watak wantun, sifat tabiatnya selalu enak dilihat dan membuat nyaman di hati (<em>nuju prana</em>). Pribadi yang pembawaan sifatnya selalu <em>nuju prana</em> bagai gayung bersambut, di mana-mana selalu menciptakan ketentraman, kenyamanan, kebahagiaan bagi ornag-orang di sekelilingnya. Selalu membuat enak di hati, <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/serat-wedhatama-i/"><em>kinaryo karyenak ing tyas sesama</em></a>. Perilaku <em>nuju prana</em><em>inner-beauty</em>-nya akan memancar kuat dari dalam sanubari. Jika seorang pria perilakunya selalu<em> anggawe reseping pancadriya</em>. Barangkali hal ini ada kaitannya, mengapa seseorang dengan tingkat spiritual yang sudah mapan dan matang akan memancarkan daya tarik yang kuat, terlebih terhadap lawan jenis. Selanjutnya kita sebut sebagai <em>goda</em>. Resiko menjadi besar, apabila libidonya tidak tersalurkan dengan penuh tanggungjawab, baik tanggungjawab terhadap diri pribadi, keluarga, maupun tanggungjawab publik.</span> ( menjadikan pribadi yang penuh aura positif. Jika wanita maka </li><li><span style="font-size:100%;">Ke empat poin di atas merupakan teknik yang harus dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Selain ke empat langkah di atas, ada pula tata cara yang lebih pragmatis berupa ketrampilan untuk mempertajam indentifikasi mata hati, sekaligus kemahiran membedakan apakah getaran yang dirasa merupakan bisikan nurani (tuhan) atau kah bisikan nafsu (“setan”). Di antaranya adalah <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/javanese-tradition/olah-semedi/"><em>olah semedi</em></a>, <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/javanese-tradition/meditasi/"><em>meditasi</em></a>, <em>maladihening</em>, atau <em>mesu budi</em>. <em>Olah semedi</em> dan meditasi, bertujuan untuk mencapai keadaan <em>lereming pancadriya</em>, <em>sirnaning kekarepan</em>, <em>sarehing pangganda</em>, dan <em>beninging ati</em>. Pencapaian ke empat keadaan diri tersebut pada gilirannya memicu ujung-ujung syaraf pancaindera menjadi lebih peka dalam mendeteksi segala sesuatu yang ada di sekitar diri kita, baik yang <em>wadag</em> maupun gaib. Kepekaan ini disebut sebagai <strong><em>sad-indra</em></strong> atau indera ke-<em>enam</em><em>six sense</em>). Dalam khasanah spiritual Jawa, berfungsinya <em>sad-indra</em> disebut juga <em>rasa rumangsa</em>, atau <em>krasa nanging ora rumangsa</em>. Kepekaan rasa mampu mendeteksi lebih awal namun tidak disadari oleh akal. Misalnya perkiraan anda sangat meyakinkan walau belum ada bukti apakah sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Setelah dibuktikan secara faktual dan ilmiah ternyata benar adanya, sesuai apa yang semula anda yakini. Nah, rasa yakin yang ternyata benar itu adalah <em>rasa rumangsa</em>. Bahkan terhadap hal-hal yang tidak tampak oleh mata pun dapat ditangkap singnal-signalnya melalui ujung syaraf perasa di seluruh permukaan tubuh. Diperkuat oleh pengendalian pusat (sentral) syaraf yakni otak (nalar), yang telah lebih peka pula karena sudah dapat membedakan yang NURANI dan yang bukan. Sehingga anda akan hafal betul dengan gejolak nurani anda sendiri. Hal itu membuat diri anda kadang-kadang mampu <em>weruh sak durunge winarah</em>. Anda tahu persis akan terjadi sesuatu peristiwa, sebelum suatu peristiwa itu terjadi. Tampaknya sulit sekali kita mencapai kebisaan seperti di atas. Tetapi setelah kita MAU membiasakan diri menghayati semua tata laku tersebut, semuanya dapat kita raih dengan mudahnya. Anda akan mampu dengan sendirinya melalui beberapa tahap <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/wirid-purba-jati-mengenali-jati-diri-hakekat-neng-ning-nung-nang/"><em>neng, ning, nung, nang</em></a>. Yakni <em>jumeneng</em>, <em>wening</em>, <em>sinung</em>, dan <em>menang</em>. Kemenangan hidup bilamana kita bisa menjadi manusia yang merdeka lahir dan batinnya. <em>Kemenangan</em> diperoleh setelah kita <em>kesinungan</em>. Supaya <em>kesinungan</em>, kita harus selalu <em>wening</em>. Agar supaya bisa <em>wening</em> kita musti mau untuk <em>jumeneng</em>. <em>Kemenangan hidup</em> menjadi jalan setapak untuk menggapai <em>uninong aning unong</em>.</span> (</li></ol> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><strong>MANFAAT LAIN DARI NURANI</strong></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Dengan landasan pemahaman dan pengelolaan seluk-beluk nurani seperti telah saya uraikan di atas, membuat setiap individu dapat mengendalikan DAYA PANGARIBAWA. <em>Daya pangaribawa</em> adalah sebuah kekuatan besar berasal dari getaran nurani. Berupa kewibawaan atau pengaruh kekuatan yang besar yang memancar dari tatapan mata, air muka, solah dan bawa (perilaku lahir dan batin). Sementara itu tutur kata yang bersumber dari nurani, sangat berguna untuk mencapai suatu maksud dan tujuan yang diharapkannya. <em>Daya pangaribawa</em><strong><em>daya pangaribawa</em></strong> yang getaran “resonansinya” kuat sekali akan membahana memencar ke penjuru semesta alam. Mampu mewujudkan apa yang yang diharapkan. Apa yang dipikirkan dan diucapkannya mudah menjadi kenyataan. Belum lagi kita berdoa, harapannya sudah terkabul lebih dulu. Metode ini menjelaskan pula bagaimana seseorang dapat memiliki kekuatan <em>IDU GENI</em>, <em>sabdo pandito ratu</em>, apa yang diucapkan pasti terwujud. Getaran alam akan selaras, sinergis dan harmonis dengan getaran nurani, demikian pula sebaliknya getaran nuraninya akan selaras dengan getaran (kodrat/hukum) alam. Di situlah letak “kesaktian” seseorang, manakala menjadi <em>mandireng pribadi</em>, berarti pula aku adalah alam semesta, kekuatan alam semesta adalah kekuatanku. Yang ini menjelaskan pula bagaimana orang-orang zaman dulu, seperti Ki Ageng Selo, Ki Ageng Mangir Wonoboyo, para Ratugung Binatara menjadi seorang pribadi yang sakti mandraguna. Di antaranya mampu menangkap dan mengendalikan petir, mampu menjebol dan memuntahkan lahar gunung berapi dll. Ini bukan sekedar dongeng atau mitologi, beliau-beliau bukanlah orang yang gegulangan <em>ilmu karang</em>, tetapi hanya karena berhasil menjadi manusia yang (dengan tingkat kesadaran) KOSMOLOGIS, lebih dari sekedar kesadaran spirit (untuk hal ini akan saya jabarkan dalam topik selanjutnya). Siapapun anda, pasti bisa melakukan, asal ada kemauan. Secara teknis, proses <em>daya pangaribawa</em> menjadi hasil karya nyata, atau menjadi kalimat bertuah setelah melalui tahapan-tahapan berikut ini.</span> akan memancar, beresonansi ke sekelilingnya, bahkan </p> <ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size:100%;"><strong><em>Panggraitaning cipta batin</em></strong> (bisikan nurani) yang secara tepat menentukan target dan memotivasi kepada pencapaian suatu tujuan (<em>mligining cipta</em>). Seseorang tidak akan merencanakan dan melakukan sesuatu di luar kehendak nurani. Sebaliknya keinginan yang bukan kehendak nurani tidak akan terwujud. Maka seseorang tidak akan berharap-harap selain yang berasal dari bisikan nuraninya sendiri.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>Ketepatan Bertindak</strong>. Setelah suatu target dan tujuan secara tepat dapat ditentutan oleh nurani, dituntut konsistensi <strong><em>tata lahir</em></strong> atau <strong><em>gerak ragawi</em></strong> untuk mewujudkan target dan tujuan tersebut. Dengan diipandu oleh nalar budi pekerti (<em>intelegensia nurani</em>) atau <strong>kejernihan nalar</strong> membuat diri kita lebih cermat membaca sinyal-sinyal dari <em>panggraitaning cipta</em> atau bisikan nurani. Akan tetapi kejernihan nalar baru dapat kita ciptakan apabila kita mampu cara meletakkan pikiran pada sudut yang netral dan obyektif. Hal ini tidak mudah dilakukan, sebab nalar manusia selalu penuh dengan intrik, imajinasi, pengandaian, ilusi dan penuh dengan data-data mentah yang tidak mudah dicerna. Untuk itu hendaknya <em>cyclon</em> atau gelombang otak sering-sering diturunkan pada level <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/opini-bebas/alam-sadar-bawah-sadar/"><em>bheta</em> dan <em>tetha</em></a>. Jangan terus-terusan memforsir otak selalu bekerja pada level <em>alpha</em>. Sebab daya kecermatan gelombang <em>alpha</em> hanyalah berkisar 0,0000035 dibanding kecermatan gelombang <em>theta</em>.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>Tekad Bulat atau Kemantaban Hati</strong>. Ketepatan bertindak merupakan langkah konkrit dalam pencapaian tujuan. Namun hal itu belum cukup untuk mewujudkan <em>daya pangaribawa</em>, masig diperlukan adanya <strong><em>KETANGGA</em></strong>, atau <strong><em>keketeg ing angga</em></strong>, yakni kuatnya kehendak dari dalam jiwa atau tekad bulat. Untuk mencapai satu tujuan kita tak boleh mencla-mencle, plin-plan, ragu-ragu akan apa yang kita tetapkan sebagai tujuan. Tetapi harus konsentrasi penuh melibatkan batin (hati nurani), <em>tata lahir</em> atau <em>gerak ragawi </em>yang termaktub dalam kecermatan penalaran<em>,</em> dan <em> </em>sebuah tekad yang bulat yang bersumber dari kekuatan jiwa.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>NING</strong>. Ketiga sumber kekuatan pribadi di atas belumlah lengkap. Masih harus melibatkan <strong><em>ning</em></strong> atau <em>wening</em>, hening cipta. <em>Ning</em> merupakan bentuk konsentrasi yang lebih tinggi daripada ketiga konsentrasi di atas. <em>Ning</em> merupakan <em>full consentration</em>, konsentrasi penuh, menjadi satu KARYO LEKSONO. Atau lebih mudah saya istilahkan <em>NYAWIJI</em><em>nyawiji</em> menyatukan beberapa komponen sebagai satu kesatuan gerak langkah. Komponen tersebut meliputi 4 unsur yakni ; <strong>hati, pikiran, ucapan, dan tindakan nyata</strong> yang diarahkan kepada pencapaian tujuan yang satu. Contoh paling mudah, pada saat anda membidik agar mengenai sasaran, anda perlu <em>full</em><em>full consentration</em> akan mudah dicapai saat menahan nafas beberapa saat lamanya. <strong>Nafas adalah kendali dan tali yang bisa mengikat konsentrasi anda</strong>. Hal ini menjelaskan juga mengapa olah pernafasan menjadi pelajaran utama dalam <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/javanese-tradition/meditasi/">latihan<em> </em>meditasi</a>, <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/javanese-tradition/olah-semedi/"><em>olah semedi</em></a>, maladihening, mesu budi. Termasuk di dalamnya sebagai sarana menyatukan diri (aku) dengan dzat sifat, afngal tuhan (Ingsun). Dalam tradisi tasawuf Jawa-Islam a <em>la</em> Syeh Siti Jenar disebut sebagai <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/javanese-tradition/olah-semedi/"><em>shalat dhaim</em></a>. Sepadan pula dengan apa yang termaktub dalam Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro ke IV sebagai <em>sembah cipta</em>, atau <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/pintu-pembuka-rahasia-spiritual-raja-raja-mataram/serat-wedhatama-i/"><em>sembah kalbu</em></a>. Pada intinya <em>ning</em> adalah upaya mewujudkan pencapaian <strong>kehidupan yang meditatif</strong><strong>.</strong> Yakni tercapainya kesadaran di atas kesadaran nalar (<em>higher consciousness</em>). Secara intuitif manusia dapat mengetahui apa yang akan terjadi di alam. Karena kita dapat menangkap seluruh vibrasi yang ada di alam semesta. Setiap akan terjadi peristiwa, selalu terjadi perubahan vibrasi yang sebetulnya bisa dirasakan jika kita mau mencermati pancaran gelombang vibrasi tersebut. Di sinilah salah satu fungsi <em>ning</em>. Layaknya meditasi, <em>ning</em> membuat kita lebih peka, lebih memahami apapun yang sedang dan akan terjadi di sekeliling kita, bahkan apa yang terjadi pada belahan bumi yang lainnya.</span> yakni melibatkan kekompakan seluruh elemen daya kekuatan dalam diri pribadi untuk satu tujuan. Atau hanya bertujuan tunggal dan mengerahkan segala daya dari dalam diri secara KOMPAK. Individu yang konsentrasi yakni harus menciptakan keheningan, ketenangan, percaya diri, kesabaran dalam tekad yang bulat, yang disatukan dalam setiap hela nafas. Keadaan </li></ol> <p style="text-align: justify;"><span style="font-size:100%;">Akhir kalam, selamat mencoba dan menghayatinya. Semoga <em>berkahing Gusti Moho Agung</em></span> selalu berlimpah kepada seluruh para pembaca yang budiman. Salam karaharjan, rahayu.</p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-2029942229180549632010-09-19T05:41:00.000-07:002010-09-19T05:42:46.603-07:00Kiat sukses mendidik anak<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">Kiat Sukses Mendidik Anak</span></h2> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Prakata</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Para sahabat semua, para pembaca yang budiman khususnya yang berprofesi sebagai pendidik atau guru sekolah di manapun berada. Atas permintaan sedulur dengan Nickname <em>laku perihatin</em>, berikut saya <em>share</em> tentang kiat-kiat <em>a la</em></span> kejawen agar supaya sukses dalam mendidik anak kandung ataupun anak didik di sekolah.</p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Tip Sukses</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a rel="attachment wp-att-1366" href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/03/12/kiat-sukses-mendidik-anak/apr3/"><img class="alignleft size-full wp-image-1366" title="teach" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2010/03/apr3.jpg?w=116&h=110" alt="" width="116" height="110" /></a>Jawa artinya <em>jiwa kang kajawa</em>, jawi yakni <em>jiwa kang kajawi</em>. Artinya, prinsip hidup kejawen mengutamakan <em>laku penghayatan</em> atau implementasi nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Ada pepatah mengatakan, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Mendidik anak, yang paling utama adalah memberi contoh sikap dan perilaku si pendidik dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk bisa <em>ngemong</em> orang lain, kita harus bisa <em>ngemong</em> diri kita sendiri terlebih dulu. Pabila diri kita masih mudah terpancing emosi, gampang terhasud, mudah marah, kurang sabar dan tulus dijamin mudah gagal saat mendidik anak. Apalagi seorang calon pemimpin bangsa yang mempunyai sikap temperamental, suka iri hati, <em>panasten</em>, mudah marah dan terpancing emosi pastilah hanya akan menjadi penguasa otoriter, fasis, lalim dan suka menzolimi rakyatnya. Kiat sukses mendidik anak masih termasuk dalam penjabaran <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/falsafah-jawa/kunci-sukses-dalam-kehidupan/">kiat sukses dalam pergaulan</a> a-<em>la</em> Jawa. Adapun kiat-kiat sebagaimana dalam ajaran <em>kejawen</em> mendidik anak adalah sbb ;</span></p> <ol style="text-align: justify; font-family: verdana;"><li><span style="font-size:100%;"><strong>Komunikatif</strong>. Pendidikan dilakukan sejak masih di dalam kandungan. Seringlah diajak bicara atau berkomunikasi, dilantunkan tembang, serta sering membelai-belai perut ibu yang mengandung. Getaran batin antara ayah-anak-ibu akan saling bersentuhan dengan lembut. Kelembutan kasih sayang ini akan menciptakan kekuatan daya cipta dan kekuatan batin bagi si jabang bayi. Jangan heran bila di antara anda akan merasakan ternyata janin di dalam kandungan sudah bisa diajak berbicara. Apalagi bila sukmanya lebih tua dari usia jasadnya. Dalam mengimplementasikan kegiatan mengajar di sekolah, hendaknya kita sebagai guru lebih bersikap egaliter, tidak menerapkan pola <em>patron-client</em> (<strong>tuan-hamba</strong>). Agar supaya antara guru dengan murid memiliki hubungan batin yang lebih erat. <em>Rasa sejati</em>-nya saling nyambung. Terjadinya kontak <em>rasasejati</em> ini sangat bermanfaat untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati antara guru dan murid.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>Mendidik dengan sikap w</strong><strong>elas </strong><strong>asih</strong>. Dalam mendidik musti dilakukan dengan kasih sayang yang tulus. <em>Ojo ngoso</em> <em>lan kodho</em>. <strong>K</strong><strong>etulusan kasih sayang</strong><strong> akan menghasilkan energi positif yang kuat memancar beresonansi yang akan menyentuh alam pikiran bawah sadar para peserta didik</strong>. Kita menyadari bahwa hidup ini tidak lain untuk SALING MEMBERI dan MENERIMA kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk. Sekalipun kpd anak didik yg harus disayangi, seorang guru juga harus mengekspresikan suatu harapan untuk menerima kasih sayang dari para anak didik kita. Cara ini akan memotivasi anak didik untuk belajar memberikan kasih sayang kepada bapak-ibu guru khususnya dan kepada seluruh makhluk pada umumnya.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>Bidiklah alam <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/opini-bebas/alam-sadar-bawah-sadar/">pikiran bawah sadar</a></strong>. Untuk anak kita di rumah, lantunkan tembang-tembang <em>seserepan</em> (pelajaran) tentang kehidupan pada saat anak menjelang dan sedang tidur. Karena kebiasaan ini mempunyai efek sangat posistif. Dalam kondisi tidur, pada saat itu gelombang otak mencapai level <em>tetha</em> sehingga alam <em>pikiran bawah sadar</em> masih terjaga, apalagi kesadaran <em>rasasejati</em>-nya tetap melek walau dalam keadaan tertidur pulas (mendengkur) di mana gelombang otak mencapai level <em>delta</em>. Dalam keadaan di atas kalimat lantunan tembang yang mengandung pelajaran adiluhung mudah direkam ke dalam <em>alam pikiran bawah sadar</em>-nya. Maka dalam khasanah kesenian Jawa dikenal tembang khusus untuk menidurkan anak, DANDANG GULA TURU LARE. Tembang itu bagaikan <em>mantra</em> yang penuh energi bila dilantunkan saat anak menjelang tidur. Dan mudah terpatri di dalam sanubari karena menjelang tidur keadaan gelombang otaknya berada pada level <em>alpha</em>. Untuk tembang-tembang tersebut para pembaca yang budiman dapat membeli kasetnya di toko kaset terlengkap. Misalnya Popeye di jogja, atau toko kaset di dekat Jl Jaksa Jakpus. Syukur-syukur kita bisa nembang sendiri supaya lebih berenergi.<span id="more-1365"></span></span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>Tekad bulat, <em>ketangga, keketeg ing angga</em></strong>. Sebelum kegiatan mengajar dimulai atau saat akan berangkat ke tempat mengajar, konsentrasi lah dahulu untuk mengajak <em>sedulur kembar</em> dan <em>sedulur papat kiblat </em>serta <em>kelima pancer</em>-nya agar ikut andil dalam proses mengajar. Untuk kalimat yang diucapkan silahkan dibuka posting saya terdahulu <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/2009/11/29/membangun-laku-prihatin/">FAQ; MEMBANGUN LAKU PRIHATIN</a>.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>Hargailah seluruh makhluk</strong>. Dalam kesempatan khusus, saat telah sampai di tempat mengajar, sempatkan untuk sekedar permisi dan minta semua kekuatan dan makhluk tuhan yangg tinggal di sekitar sekolahan, baik yang tampak maupun tidak tampak, termasuk lingkungan alam, pepohonan, dan ke-empat unsur alam, agar energinya selalu bersinergi dan harmoni dengan getaran ketulusan kita.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>Sinergikan dan <a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/falsafah-jawa/meluruskan-makna-mistik/">harmonisasikan dengan alam semesta</a></strong>. Saat mau mulai mengajar, heningkan cipta terlebih dulu. Ucapkan; “<em>aku ora ndidik ragane murid</em><em>-murid</em><em>ku, nanging ndidik jabang bayine murid</em><em>-murid</em><em>ku kabeh</em>. <em>Kyai among nyai among, kabeh kang ngemongi anak didikku ewang-ewangono supaya pada mbangun-turut, dadi bocah kang pinter lan mulya dunya akhirate, mangerteni apa sejating urip.</em><em> </em><em>Kabeh saka kersaning Gusti</em>. (Artinya; Aku tidak mendidik raga para murid-muridku, tetapi mendidik jabang bayinya murid-muridku kabeh. Kyai among nyai among, semua unsur gaib yang membimbing anak didikku, bantulah supaya anak didik hormat dan patuh, menjadi anak yang pandai dan mulia dunia akhiratnya, memahami kehidupan yang sejati. Semuanya atas kodrat Tuhan).</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong>Jadikan pekerjaan kita sebagai ladang amal</strong>. Oleh sebab itu, libatkan hati dalam setiap pekerjaan. Tetapkan apa tujuan menjadi seorang pengajar atau guru. Jangan bertujuan untuk mencari makan atau mendapatkan gaji bulanan. Tetapi tetapkan tujuan untuk membagi ilmu pengetahuan kepada semua orang yang memerlukan. Agar supaya mereka dapat menentukan dan merubah nasibnya menjadi lebih baik lagi. Saat kita mengajar, sama saja kita sedang menolong orang banyak. Perlu saya garis bawahi bahwa membantu orang lain memiliki “<em>kredit point</em>” yang sangat besar. Urut-urutannya adalah ; <strong>pertama</strong>, menolong keselamatan jiwa orang lain. <strong>Kedua</strong>, menolong nasib atau membukakan jalan hidup bagi orang lain. Nah, bila kita bisa menetapkan tujuan di atas, sama halnya kita telah menghayati ajaran; <strong>tanamlah padi, maka rumput akan ikut tumbuh</strong>. Menanam padi sebagai kiasan akan amal kebaikan, menolong, membantu, memberi kemudahan, mempererat tali persaudaraan atau silaturahmi. Rumput yang ikut tumbuh sebagai kiasan rejeki yang akan selalu mengikuti setiap kita berbuat kebaikan kepada seluruh makhluk. Maka dalam bekerjaa menjalankan tugas pun hendaknya kita selalu menghayati <em>tapa ngrame</em>. <em>Rame ing gawe, sepi ing pamrih</em>.</span></li><li><span style="font-size:100%;"><strong><em>Tapa mendhem</em></strong>. Jangan pernah mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah kita lakukan kepada siapapun dengan dalih untuk <em>melehke</em>, atau agar supaya ia malu dan merasa berhutang jasa budi baik. Termasuk jasa-jasa seorang guru kepada murid-muridnya. Sebaliknya ingatlah baik-baik jasa para murid yang pernah dilakukan kepada guru. Dikiaskan, tulislah kebaikan orang lain di atas batu agar tak mudah kita lupakan, tulislah kebaikan yang pernah kita lakukan di atas tanah agar segera kita lupakan.</span></li></ol> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong> </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><a rel="attachment wp-att-1367" href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/03/12/kiat-sukses-mendidik-anak/ber-2-denger-pak-guru-juga/"><img class="alignleft size-full wp-image-1367" title="ber-2 denger pak guru" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2010/03/ber-2-denger-pak-guru-juga.jpg?w=231&h=125" alt="" width="231" height="125" /></a>Demikianlah beberapa kiat sukses dalam mendidik/mengajar anak didik. Masih banyak lagi kiat-kiat sukses dalam bentuk yang lebih teknis, tetapi yang saya anggap paling utama adalah ke-delapan <em>point</em><em>Nyuwun duka</em> kepada para pembaca yang budiman sekiranya ada kalimat yang terasa menggurui dan kurang sopan. Hanya kiat-kiat tersebut di atas yang bisa saya persembahkan kepada siapapun yang membutuhkan. Terimakasih kepada Bapak <strong><em>laku perihatin</em></strong> yang telah memotivasi saya menulis <em>posting</em> di atas dan terkesan amburadul karena memang mendadak untuk sekaligus menjawab pertanyaan <em>panjenengan</em> pada <em>list</em> komentar. Mumpung ada waktu minum kopi sambil <em>ngebul</em> di pinggir jalanan, itung-itung bisa sambil bikin corat-coret di atas. Kiat-kiat di atas memang tampak sepele, namun ajaran ini bila dihayati akan memiliki kekuatan yang dahsyat, menjadikan diri kita seumpama medan magnet yang akan mempunyai daya tarik terhadap semua unsur yang positif. Kebaikan yang kita lakukan akan berbalik kepada diri kita sendiri secara berlipat ganda. Begitulah salah satu rumus atau hukum yang ada di jagad raya ini. Sumonggo silahkan dibuktikan. Salam sukses, rahayu karaharjan untuk semua.</span> di atas. </p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-11311454081920881202010-09-19T05:37:00.000-07:002010-09-19T05:38:48.386-07:00Pasrahkah anda<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">Pasrah Atau Fatalis kah Diri Anda ??</span></h2> <p style="text-align: center; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em><span style="color: rgb(255, 0, 255);">Mengukur Kesadaran Diri</span></em></strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>PASRAH</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em>PASRAH</em><em>,</em> adalah kata-kata yang tak mudah dipahami. Banyak orang salah kaprah mengartikan makna <em>pasrah</em> yang dipahami sebagai sikap melenyapkan segala kemauan, keinginan, inisiatif, dan kehendak. Yang seperti ini sudah termasuk ke dalam terminologi FATALISME yang rentan sekali terhadap sikap putus asa. Tanpa disadari keputus-asaan akan mudah membuat siapapun mudah tergelincir pada sindrom radikalisme, ekstrimisme, dan ekslusivisme.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em>Pasrah</em> berhubungan dengan <strong>penyelarasan</strong> sikap dan perbuatan diri dengan <strong>kehendak alam semesta</strong> alias kehendak tuhan. <em>Pasrah</em> bukan bermakna sikap pasif dan tanpa usaha. Justru <em>pasrah</em> di dalamnya termaktub suatu usaha sekuat tenaga, semaksimalnya agar supaya sikap dan perbuatan kita selaras dan sinergis dengan hukum alam. Sehingga di antara <em>jagad kecil</em> atau mikrokosmos dengan <em>jagad besar</em> atau makrokosmos tercipta hubungan yang harmonis. Dan begitulah hakekatnya orang yang disebut tunduk patuh kepada tuhan. Sebaliknya, radikalisme, ekstrimisme, mengarah pada kekerasan dan penghancuran antar sesama manusia, sudah termasuk ke dalam kategori bertentangan dengan hukum/kodrat alam yang bersifat sebaliknya, selalu harmonis berada dalam hukum keseimbangan alam semesta.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>YANG HARUS DIBACA </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Namun sebelum melanjutkan diskusi, alangkah idealnya jika para pembaca yang budiman meng<strong><em>klik</em></strong> kembali artikel terdahulu berjudul <strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/04/01/mengenal-ngelmu-sastra-jendra/" target="_blank">MENGENAL NGELMU</a></strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/04/01/mengenal-ngelmu-sastra-jendra/" target="_blank"> </a><strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/2010/04/01/mengenal-ngelmu-sastra-jendra/" target="_blank">SASTRA JENDRA</a></strong>, dan <strong><a href="http://sabdalangit.wordpress.com/category/filsafat-pewayangan/pusaka-hasta-brata-calon-presiden-harus-memiliki/" target="_blank">PUSAKA HASTA BRATA</a></strong>. Agar lebih gampang memahami serta mengikuti diskusi kali ini. Paling tidak lebih menselaraskan level pemahaman di antara kita semua.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>FATALISME </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Fatalisme <span id="more-1415"></span>adalah faham atau cara pandang hidup, disebut pula prinsip dalam menjalani kehidupan. Secara sosiologis fatalistis menunjuk sikap seseorang yang selalu menghilangkan <strong>peran</strong> dan <strong>inisiatif</strong> diri sendiri secara mutlak, terutama pada saat menghadapi problema kehidupan. <em>Lantas di mana kehendak diri atau self</em> ? Musnah ditelan oleh suatu paham akan kemutlakan “kehendak tuhan”! Bila seseorang terlalu pasrah dalam segala hal sampai-sampai kehilangan inisiatifnya, maka sikap inilah disebut <em>fatalis</em>. Sikap fatalis yang telah menjadi prinsip menjalani hidup sehari-hari, berubah menjadi paham fatalisme. Dalam paham <em>fatalisme</em>, secara sadar atau tidak seseorang menyangka suatu keadaan sudah dikuasai oleh nasib dan tidak bisa dirubahnya tanpa kehendak tuhan. Bahkan pandangan fatalisme yang paling ekstrim menganggap segala nasib baik dan buruk mutlak datang dari kehendak Tuhan. Manusia tidak memiliki celah sedikitpun untuk merubahnya. Dalam khasanah agama, sikap fatalistik berkaitan dengan cara pandang (<em>mind set</em>) seseorang terhadap pemaknaan takdir atau kehendak Tuhan yang dipahami dengan salah kaprah.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Ironisnya, sikap fatalistis biasanya justru bermula dari cara penafsiran akan ajaran suatu agama. Atau pola-pikir yang sudah terpola oleh doktrin agama yang tidak dipahami secara esensial/hakekat. Sikap fatalis akan muncul bilamana seseorang memahami bahwa <em>karsa</em> atau kehendak dalam kehidupan ini mutlak merupakan kehendak Tuhan. Tak ada gerak-gerik sekecil apapun yang bukan kehendak tuhan. Sikap seorang fatalis menganggap semua keinginan manusia sekecil dan seburuk apapun tidaklah mandiri, kecuali sudah menjadi determinasi kekuasaan tuhan. Bahkan pada tingkat ekstrim, orang-orang tipe fatalis akan menganggap “kemutlakan tuhan” telah <strong>meniadakan</strong> peran individu sebagai makhluk hidup yang memiliki kehendak mandiri, dan memiliki kemampuan untuk memilih. Misalnya anda garuk-garuk kepala pada jam 23.09 malam Jumat, tanggal 21 Agustus, merupakan kejadian yang sudah merupakan ketentuan Tuhan. Tuhan mengatur seekor nyamuk supaya terbang dari comberan lalu menggigit pantat anda, kemudian anda menepuk nyamuk tsb pada jam 23.07 wit. Seorang fatalis akan menganggap peristiwa itu sudah menjadi KODRAT TUHAN. Daun yang gugur dari ranting pohon pada jam 23.56 pun dipahami sebagai kodrat dan iradat (ketentuan dan kehendak) tuhan saat itu. Artinya tuhan telah menentukan peristiwa di mana anda menepuk nyamuk pada jam tersebut serta gugurnya daun dari ranting pada jam tersebut. <strong>Cara berfikir demikian inilah yang menjadi terkesan sangat aneh</strong>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>LANTAS BAGAIMANA MEMAHAMI KODRAT ?</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Kodrat saya pahami tak ubahnya hukum alam yang di dalamnya terkandung rumus-rumus alam. Rumus-rumus itu sebagian kecil telah diketemukan manusia sejak zaman paleolitikum, mezolitikum hingga neolitikum. Hasil temuan manusia jika dibukukan sebagai hasil penemuan manusia maka jadilah ilmu pengetahuan. Jika dibukukan dengan klaim atas nama tuhan, jadilah buku yang disucikan dan dikeramatkan. Bedanya, ilmu pengetahuan butuh verifikasi, pengujian secara ilmiah, terbuka untuk dikritik agar mencapai kesempurnaan pemahaman akan rumus-rumus tuhan yang berlaku. Sedangkan buku yang dikeramatkan justru bersifat anti kritik, tabu untuk diperdebatkan, dan tidak butuh verifikasi atau uji kebenaran.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em>CHAOS</em></strong><strong> dalam MEMAHAMI KODRAT</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Kembali ke pokok bahasan, jika dianalogikan, kodrat bagaikan “<em>karpet merah</em>” yang musti dilalui manusia agar selamat dan sentausa menggapai kemuliaan hidup. Sebaliknya, orang yang enggan melewati “karpet merah” itu hidupnya akan mengalami sengsara dan gagal meraih kemuliaan lahir dan batinnya. Kodrat bisa saja bersifat pasif, yang aktif tentu saja manusianya. Manusia aktif untuk menentukan pilihannya secara tepat. Ketepatan memilih ditentukan kecermatannya memahami rumus-rumus hukum alam. Itulah makna memahami sejatinya hidup. <em>Gusti iku mahawicaksana, nanging menungso ora biso hanggayuh kawicaksananing Gusti</em>. Tuhan itu mahabijaksana, tetapi manusia sering gagal memahami kebijaksanaan tuhan. Sehingga kebijaksanaan tuhan yang mahaluas tiada batas, menjadi sesempit nalar manusia, lebih parah lagi dipersempit oleh doktrin (dogma-dogma) yang bertebaran menghipnotis mayoritas masyarakat dunia. Kesadaran spiritual manusia tak bisa berkembang sebab selalu terkurung di dalam kapsul kesadaran semu, kesadaran hasil indoktrinasi para saleh. Ironis sekali! Seharusnya dogma bertujuan memerdekakan manusia, dan membuka kesadaran spiritual seluas-luasnya, akan tetapi kenyataannya justru sebaliknya, doktrin menghegemoni manusia, dan membelenggu kesadaran spiritual. Mengapa demikian ? Agama tak ubahnya parpol yang berorientasi mengejar kekuasaan yang diperoleh dari sisi KUANTITAS, yakni mencari pengikut sebanyaknya guna memperkuat barisan. Padahal tujuan semula agama adalah untuk memerdekakan individu, menggapai kualitas kesadaran spiritual yang lebih baik untuk menggapai kualitas hidup yang lebih baik pula. Namun kini, telah terjadi <em>chaos</em> (kekacauan) dalam kesadaran spiritual beragama. Serba kebalik (<em>wolak-waliking jaman</em>). <strong>Banyak orang tidak menyadari jika dirinya sedang tidak sadar</strong>. <strong>Yang sadar dianggap tak sadar, yang tak sadar merasa dirinya sadar.</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>FATALISME & PENYAKIT JIWA</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Kapsul kesadaran berakibat fatal. Di antaranya adalah fanatisme (telah kami bahas dalam artikel lain) dan sikap fatalis. Sikap fatalis menenggelamkan segala kehendak seseorang. Jika sikap ini terus-menerus dijadikan pedoman hidup, setiap individu fatalis akan kehilangan cipta dan karsanya. Lantas ia cenderung berpangku-tangan menunggu-nunggu kehendak Tuhan. Secara tidak langsung sikap fatalis akan menimbulkan makna yang bisa di mana manusia sekedar menjadi obyek penderita. Di samping itu tanpa di sadari justru menimbulkan pemahaman seolah manusia bersikap tidak mau disalahkan, dan tidak mau melakukan instrospeksi diri akan keadaan nasib buruknya. Apabila kita mengerjakan pekerjaan dengan ceroboh, lalu mengalami kegagalan fatal, hal itu tetap dianggap sebagai kehendak Tuhan. Misalnya bila terjadi musibah kapal tenggelam gara-gara kelebihan penumpang, serta-merta dianggap sebagai kehendak Tuhan. Atau misalnya terjadi kasus jebolnya tanggul waduk Situ Gintung yang menelan korban lebih dari 120 orang, lantas orang mengatakan,” musibah itu sudah direncanakan Tuhan” untuk memberi cobaan kepada umat manusia yang beriman. Kenapa orang tidak berkata sebaliknya,”..<em>oh, musibah itu merupakan peringatan atau teguran tuhan kepada umat manusia yang sudah tidak</em> <em>eling</em> dan <em>waspada</em>. Jika kita mau instropeksi, jebolnya tanggul Situ Gintung disebabkan oleh ulah para pejabat yang berwenang teledor melakukan perawatan tanggul. Dana anggarannya sengaja disusutkan dari alokasi APBD, atau malah diselewengkan sehingga rehabilitasi tanggul menjadi tertunda-tunda hingga musibah benar-benar terjadi.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Coba kita renungkan bersama. Kenapa banyak orang menggunakan <em>jalur hijau</em> dan wilayah resapan air sebagai pemukiman yang padat. Bukankah hal itu sebagai perbuatan MELAWAN KODRAT ALAM (Tuhan) ??!! Kenapa banyak orang diwawancara televisi berpendapat bahwa musibah itu dikatakan sudah menjadi kehendak dan rencana tuhan ? <em>Waduh</em>…jahat bener tuhan demikian?? Apakah tuhan berencana menciptakan para koruptor dan para penyeleweng anggaran pembangunan ? Apakah tuhan berencana membuat pejabat yang ceroboh ? Apakah tuhan merencanakan sebanyak 120 orang bakal mati konyol menjadi korban kecerobohan segelintir pejabat ?</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Kemutlakan kehendak tuhan biasanya tertanam begitu kuat melalui doktrin yang berkesinambungan sejak masih usia kanak-kanak. Wajar jika doktrin kemutlakan tersebut akhirnya tertancap kuat dalam alam pikiran bawah sadar. Namun jika kemutlakan tuhan masih saja dipahami dengan pola pikir di atas, maka tanpa sadar pola pikir itu kian dekat dengan virus fatalisme yang erat dengan “gangguan kejiwaan”. Cobalah bersama-sama kita melakukan rehabilitasi atas gangguan kejiwaan itu. BUKAN BEGITU CARANYA MANUSIA PASRAH kepada tuhan.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"> </p><p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>PASRAH (<em>TAPA NGELI</em>)</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Pasrah merupakan upaya manusia untuk menselaraskan, harmonisasi dan sinergisasi antara perilakunya dengan kodrat alam atau hukum alam yang terdapat di dalam semesta raya ini. Kodrat/hukum alam itulah yang dimaksud dengan aturan tuhan. Berbeda dengan fatalistis, “<em>tapa ngeli</em>” merupakan prinsip berserah diri atau selaras dan sinergis dengan “kebijaksanaan” hukum alam (tuhan). <em>Tapa ngeli</em> dapat “bekerja” secara efektif menjadi pedoman perilaku dan perbuatan pada saat seseorang menghadapi masalah berat atau dalam situasi yang serba <em>gambling</em> dan penuh resiko. Pada saat menghadapi kesulitan hidup yang sulit untuk dijabarkan dan dianalisa apa yang sesungguhnya terjadi, tanpa bantuan dan <em>share</em> dari siapapun, orang biasanya terjebak pada suatu keadaan yang serba membingungkan, dilematis dan buntu. Sangat sulit memahami secara pasti bagaimana jalan keluar yang harus ditempuh.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Belajar Dari Watak Sungai</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Dalam kondisi demikian <em>tapa ngeli</em> menjadi jalan alternatif paling ideal. <em>Tapa ngeli</em> adalah di mana seseorang berprinsip menyerahkan segala proses pada irama atau ritme alam atau “kehendak tuhan”. Karena alam semesta ini, hukum alam dengan rumus-rumus keTuhanannya akan berproses secara alamiah. Terangkum sebagai rumus atau kodrat alam, bahwa alam mampu melakukan seleksi secara alamiah, adil, bijaksana, teliti, dan cermat (<em>mulat laku jantraning bumi</em>) tanpa menyisakan secuilpun ketidakadilan. Jika seseorang dapat melakukan “<em>tapa ngeli</em>” ia akan membiarkan diri terbawa proses alamiah dalam kebijaksanaan alam (kehendak Tuhan). Bagi pelaku “<em>tapa ngeli</em>” sikap dan perilaku akan menjadi sinergis, harmonis, sesuai dengan rumus-rumus atau prinsip-prinsip alamiah tentang keadilan dan kebijaksanaan yang sejatinya. Sebagaimana disuguhkan oleh alam semesta melalui “bahasanya sendiri” yang menyiratkan hukum/kodrat alam. Namun prinsip-prinsip itu terasa sangat sulit dijabarkan dan dianalisa bila hanya mengandalkan kemampuan akal budi manusia serta hanya berbekal dogma-dogma kaku anti-kritik. Sebaliknya terasa lebih mudah dipahami melalui indera <em>rasa pangrasa</em> (mata hati) kita. Prinsip utama <em>tapa ngeli</em> adalah ; <em>sabar, sumarah, sumeleh</em> (qonaah) & pantang menggerutu (<em>grenengan</em>) atau tidak tulus menjalani suatu keadaan yang pahit. Dalam <em>tapa ngeli</em> ibaratnya kita “menghanyutkan diri kedalam aliran sungai kehendak alam semesta” yang terbukti bijaksana. Sungai yang masih alamiah selalu memiliki keseimbangan dengan alam sekitarnya. Sungai yang masih alamiah belum terkena polusi akal-akalan dan keserakahan manusia, sungguh masih berwatak sangat bijaksana. Sungai tidak akan merusak lingkungan alam, termasuk para penghuninya yang terdiri dari tumbuhan, hewan, masyarakat “halus” dan pemukiman penduduk. Sebaliknya sungai justru menjadi sumber berkah bagi lingkungan alam yang dilaluinya. Perjalanan air sungai yang penuh berkah hingga sampailah pada “muara keberuntungan”, masuk ke dalam “samudra kemuliaan” hidup.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Kita dapat memahami bahwa rumus tuhan mengejawantah ke dalam bahasa dan kodrat alam. Pada saatnya pelaku “<em>tapa-ngeli</em>” akan berhasil memasuki “muara samudra keberuntungan”. Ciri-ciri seseorang yang berhasil melakukan <em>tapa ngeli</em>, biasanya akan merasakan nikmatnya hidup, seolah serba kebetulan, dan selalu memperoleh keberuntungan (menggapai <em>ngelmu bejo</em>). Terjadinya lika-liku hidup dirasakan sudah seperti ada yang mengatur. Sekalipun proses dan jalan cerita kehidupan kadang terasa pahit namun selalu indah pada akhirnya (<em>happy ending</em>). Bisa saja anda kilas balik merasakan perjalanan melewati masalah-masalah sulit dan berbahaya, namun pada akhirnya menemukan kemenangan dan kesuksesan yang di luar yang anda duga-duga sebelumnya. <strong>Begitulah hukum alam, asal manusia bersedia sinergis dan harmonis dengan hukum/kodrat alam, maka alam akan mengatur kehidupan anda menjadi harmonis penuh berkah</strong>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Cermatilah;</strong><strong> “<em>Tapa Ngeli</em>” atau Mengikuti “<em>Air Bah</em>”</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Berikut ini saya membuat analogi dan ilustrasi untuk memudahkan Anda memilah, mencermati dan membedakan mana <em>tapa ngeli</em> dan mana yang bukan <em>tapa ngeli</em>. <em>Tapa Ngeli</em> adalah sikap perilaku kita yang mau mengikuti “<em>aliran air sungai</em>” agar kehidupan kita selaras sesuai hukum alam (kodrat Tuhan). “Aliran air sungai” pasti menuju “samudra” anugrah dan keberuntungan. Sebaliknya adalah sepak terjang <em>air bah</em> yang menerjang <em>wewaler</em>, dengan kata lain perilaku yang melawan hukum alam (kodrat Tuhan). Jika <em>tapa ngeli</em> jauh dari polusi hawa nafsu negatif (<em>nuruti kareping rahsa</em>). Sebaliknya mengikuti “<strong><em>air bah</em></strong>” sama saja mengikuti hawa nafsu negatif (<em>nuruti rahsaning karep</em>) atau sikap semaunya si hawa nafsu sendiri (dikiaskan; <em>manut wudele dewe</em>). <em>Air bah</em> menerjang segala sesuatu yang bukan menjadi haknya. <em>Air bah</em> merusak tepi pantai, daratan, pemukiman penduduk, sawah, ladang dan membuat kerusakan di mana-mana.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Perilaku “<em>Tapa Ngeli</em>”</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Apabila perilaku dan perbuatan anda tidak melanggar sesuatu yang menjadi hak orang lain termasuk perbuatan melawan hukum (<em>breaking the law</em>), tidak menyinggung perasaan atau menyakiti hati orang lain, atau perilaku anda tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi orang banyak. Perbuatan Anda tidak merusak alam, lingkungan hidup, itulah perilaku yang masih berada dalam koridor <em>tapa ngeli</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Misalnya, perusahaan pengeboran tambang yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur Porong Sidoarjo boleh saja menganggap hal itu sebagai musibah. Musibah diterima, dijalani, dan dirasakan dengan penuh kesabaran sebagai kelalaian dan kealpaan manusia. Tidak perlu banyak menggerutu dan menyalahkan pihak lain atau mencari-cari kambing hitam termasuk menganggap sebagai akibat dari efek gempa Jogjakarta yang letaknya nun jauh dari lokasi musbah lumpur Porong Sidoarjo. Yang paling penting mau menanggung semua resiko lalu memenuhi kewajibannya dengan cara yang penuh tanggungjawab, ketulusan, dan penuh kasih sayang. Perusahaan secepatnya mengambil langkah-langkah nyata melindungi dan mengganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang tertimpa luapan lumpur dengan tulus ikhlas walaupun menguras aset perusahaan sampai habis. Begitulah perilaku tapa ngeli yang tepat. Jika semua tanggungjawab dijalani dengan penuh kesabaran, penuh ketulusan dan kasih sayang untuk melindungi warga masyarakat yang tertimpa luapan lumpur seadil-adilnya, maka kemungkinan besar perusahaan pengeboran itu akan mendapatkan gantinya yang jauh lebih besar dari apa yang telah ia keluarkan.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Sedangkan bagi masyarakat dan PemKab setempat, melakukan tapa ngeli dengan cara menerima penderitaan itu dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Tidak sibuk menggerutu atau meratapi nasibnya, namun sebaliknya dengan penuh semangat tetap memperjuangkan apa yang menjadi haknya melalui prosedur yang tepat dan benar secara hukum. Perjuangan tidak berhenti di situ saja, Pemkab bersama komponen masyarakat secepatnya menyusun rencana ke depan untuk <strong>merubah musibah menjadi anugrah</strong>. Dengan berfikir kreatif, alternatif dan inovatif untuk menciptakan peluang baru di tengah runyamnya keadaan akibat luapan lumpur. Dirancang melalui pemikiran positif, dilakukan dengan sikap positif bahu membahu antara Pemerintah dengan semua unsur masyarakat setempat. Saya yakin akan datang anugrah agung terlimpah bagi masyarakat Sidoarjo. Saya termasuk orang yang yakin 100 % bahwa mukjizat Tuhan harus diraih oleh manusia sendiri. Artinya manusia tidak bisa hanya dengan berpangku tangan lantas mukjizat Tuhan datang dengan seketika. Manusia harus benar dulu “<em>laku</em>”nya. Barulah anugrah dan mukjizat yang diharapkan benar-benar terwujud. <strong>Mujizat Tuhan (hukum alam semesta) hanya berlaku bagi orang-orang yang mau memperjuangkannya dan bagi orang yang percaya 100% saja</strong>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Perilaku “<em>Air Bah</em>”</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Sebaliknya, apabila perilaku dan perbuatan Anda sadar atau tidak ternyata telah menyakiti hati orang lain, menyinggung perasaan sesama, melibas hak orang lain, mencelakai dan merugikan orang, melakukan tindakan invasi, menyerobot, menggusur dan menjajah, maka termasuk mengikuti sepak terjang <em>air bah</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Misalnya, perusahaan pengeboran tambang yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur Porong Sidoarjo menganggap hal itu sebagai cobaan buat dirinya (atau cobaan untuk orang-orang yang “beriman”). Sekilas kalimat itu terdengar indah sekali. Namun pernahkah berfikir dan melakukan instropeksi diri bahwa musibah itu timbul atas kelalaian dan kecerobohan dirinya sendiri. Sangatlah arif dan bijaksana apabila pihak pengebor sendiri menyadari bahwa luapan lumpur Porong sebagai bentuk teguran atau hukuman Tuhan atas segala kesombongan manusia yang terlalu mengandalkan teknologi canggih, kurang bijak perlakuan terhadap alam semesta, dan sikap lancang tidak menghargai “masyarakat gaib” yang benar-benar ada di sekitar kita. Sikap instropeksi ini tentu saja lebih tepat dilakukan serta lebih arif dan bijaksana karena tidak “menyalahkan” Tuhan secara tidak langsung.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Namun pada umumnya terjadi anggapan yang sebaliknya, musibah lumpur itu dianggap semata-mata datang dari Tuhan yang ingin mencoba-coba keimanan manusia. Seolah konsep keTuhanan hanya dijadikan sebagai obyek penderita saja, bahkan secara tidak langsung manusia menganggap <strong>Tuhan sebagai pelaku kerusakan alam</strong>. Lantas di mana letak kebenaran rumus bahwa: “<em>Tuhan merupakan berkah bagi alam semesta</em> (<em>rabbul alamin</em>)..?! Di situlah terdapat sifat egosentris manusia yang sangat halus, yang seringkali tidak disadarinya. Tuhan dijadikan sarana kambing hitam dan cuci tangan manusia dari segala tuntutan tanggungjawab atas segala resiko yang ditimbulkan akibat ulah ceroboh dan kelalaiannya. Hebatnya orang-orang tipikal demikian disadari atau tidak, dengan santun masih bisa berucap,”…<em>kami melakukan “tapa ngeli” kami pasrah mengikuti apa yang menjadi kehendak Tuhan..! </em> Namun tanpa ia sadari dirinya telah mengikuti prinsip <em>air bah, nuruti rahsaneng karep</em>, dengan bersikap <em>golek menange dewe, golek benere dewe, golek butuhe dewe</em>, sembari menjadikan Tuhan sebagai “<em>kambing hitam</em>” yang telah mendatangkan segala macam musibah. Orang-orang atau pihak yang memiliki sikap demikian itu, cepat atau lambat tidak ada yang luput dari <em>bebendu</em> (hukuman) Tuhan sejak masih di dunia maupun setelah ajal tiba. Itulah “ilustrasi” bilamana manusia mengikuti kehendak “<em>air bah</em>”. Pada tingkat retorika, seolah sebagai orang yang tabah melakukan tapa ngeli. <em>Diawas den dieling</em>, kita sering tidak menyadari hal itu terjadi pada diri kita sendiri. Maka jangan tertipu indahnya kulit, merdunya kalimat dan pesona wajah nan rupawan. Kebenaran sejati ada di dalam hakekat. Di balik semua yang tampak oleh mata.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>BETULKAH TUHAN GEMAR MENCOBA ?</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Saya ingin berbagi kepada para pembaca yang budiman tentang suatu analisa bagaimana sistematika dan hubungan sebab-akibaat atas terjadinya berbagai bencana dan musibah di negeri ini, siapa tahu ada manfaatnya. Coba kita renungkan bersama, mengapa bencana alam kebakaran, angin, banjir dan gempa kini sering terjadi.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em>Mengapa terjadi kebakaran (hutan), banjir, angin, salah musim, hama tanaman, wabah penyakit, hingga gempa dahsyat dan tsunami</em></strong><strong>..? </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Pertanyaan di atas, akan menghasilkan berbagai jawaban seperti di bawah ini, sesuai dengan tingkat kesadaran si penjawab.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>1. Jawaban paling mudah dan simpel, sekaligus bodoh</strong>; <em>hal itu sudah menjadi kehendak tuhan. Sudah digariskan tuhan untuk mencoba keimanan manusia</em>. Nah, jawaban ini keluar dari seseorang yang terlalu percaya diri, yang hanya membuat pribadi-pribadi seolah agamis, tetapi sungguh congkak menganggap diri sebagai orang beriman paling baik dan bener. Lantas dari mana manusia bisa mengukur keimanannya sendiri? Apa parameter keimanan, yang berkaitan dengan keyakinan yang mengendap dalam perasaan dan di alam pikiran bawah sadar? Jawaban ini beresiko membuat seseorang lupa diri, gagal melakukan instropeksi dan evaluasi diri. Maka termasuk tipikal orang yang tak tahu jika dirinya sedang tidak tahu.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>2. Jawaban yang lumayan kritis ;</strong> hal itu terjadi karena manusia telah meninggalkan agama. <strong><em>Cuma sayangnya</em></strong>, agama mana yang ditinggalkan ? Biasanya masing-masing orang menjawab ; <em>agama yang paling benar dan yang dianutnyalah yang ditinggalkan</em>. Musibah itu sebagai hukuman bagi orang-orang yang telah menutup mata terhadap agama yang dianutnya. Jawaban ini masih terpolusi oleh rasa egoisme, fanatisme kelompok, golongan, sektarian, primordial, etnosentrisme. Apakah berkah dan kasih sayang alam semesta bersifat sektarian hanya welas asih kepada sekte/umat agama tertentu? Apakah kasih sayang dan anugrah alam bersifat primordialis, pilih kasih hanya kepada agama tertentu ? Apakah berkah dan anugrah alam bersifat etnosentris ? hanya berlaku bagi kebudayaan dan peradaban manusia tertentu? Apakah sumber kehidupaan yang disediakan oleh jagad raya ini hanya diperuntukkaan bagi suku dan ras tertentu? Coba berfikirlah lebih dalam dengan hati yang bersih dan batin yang bening.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>3. Jawaban lebih kritis</strong>; <em>musibah dan bencana merupakan teguran tuhan (alam semesta) atas perilaku, perbuatan dan ulah manusia. Bahkan merupakan hukuman tuhan (alam semsta) agar</em> <em>supaya manusia dapat berinstropeksi diri. Agar supaya manusia lebih pandai mensyukuri nikmat dan anugrah tuhan (alam semesta)</em>. Jawaban ini rasanya lebih positif, tidak menjadikan diri kita congkak, terlalu merasa percaya diri, dan membuat lupa diri. <strong>Hal ini menjadikan diri kita selalu sadar jika kita ternyata belum sadar. Kita menjadi tahu, jika diri kita ternyata belum tahu. Dan begitulah modal besar bagi siapapun agar menjadi oraang yang tahu dan sadar</strong>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Jawaban yang lebih kritis, sebagai bentuk kesadaran kita akan adanya hukum sebab akibat. Bahwa musibah dan bencana ada hubungannya dengan ulah manusia. Mau percaya atau tidak percaya pada hukum alam dan hukum sebab akibat, toh hukum sebab akibat itu tetap ada dan terbukti bisa disaksikan siapapun yang mau mencermati hukum alam. Akibat adalah bentuk <em>hisab</em>. Kapan terjadinya hari <em>hisab</em> ? Tentu saja tak perlu menunggu “kiamat” (bagi yang percaya kiamat). Hari <em>hisab</em> terjadi setiap hari, di mana hari ini merupakan “buah” atas apa yang kita tanam beberapa hari, minggu, bulan, tahun lalu. <em>Sing sopo nggawe bakal nganggo</em>, <em>siapa menabur angin akan menuai badai, siapa menanam pasti akan mengetam</em>. Inilah hukum sebab akibat yang bisa terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja, yang memungkirir maupun yang tak memungkirir.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Gempa, banjir, kekeringan, kebakaran, bisa terjadi oleh ulah manusia. Manusia yg tak memahami hukum alam di wilayah tertentu (misalnya Indonesia), dengan seenaknya melakukan penggundulan hutan, ekploitasi alam secara berlebihan, tidak melakukan konservasi alam, merusak sungai, hutan, tepi pantai. Akibatnya sangat fatal. Hutan gundul mengakibatkan kurangnya resapan air ke dalam tanah. Akibatnya begitu kompleks. Lempeng bumi yang selalu bergetar, bergeser, setiap saat terjadi kekurangan “pelumas” dan pelentur berupa air sehingga keadaannya menjadi rapuh mudah patah. Pada saat terjadi sedikit geseran dan getaran, maka patahlah lempeng bumi mengakibatkan gempa. Terjadinya perpatahan lempeng bumi bersifat estafet, maka gempa terjadi beruntun terjadi secara estafet pula. <em>Lindu sedino ping pitu</em>. Akibat lain, reboisasi berkurang sangat signifikan, sehingga terjadi proses penguapan air tanah secara besar-besaran, berakibat pada penyusutan kandunga air tanah dan <em>global warming</em>, hal ini menambah porsi penguapan air laut semakin bertambah besar, yang berpengaruh pada perubahan iklim secara distortif, lantas terjadi hujan <em>salah mongso</em>. Pada saat kemarau, empang, kolam tak kering kerontang, pada saat musim penghujan air meluap menjadi banjir besar. Akibatnya hasil pertanian gagal total. Sekali hujan maka terjadi sangat lebat, hingga menimbulkan banjir besar. Pemanasan global berakibat es kutub meleleh, terjadi elevasi air laut, perubahan cuaca yang begitu cepat dan terjadi berkali-kali dalam sehari. Suhu ektrim terjadi di mana-mana, menimbulkan pergerakan udara dingin ke panas terjadi begitu cepat, sehingga menimbulkan bencana angin topan, lesus, tornado, putting beliung yang merusak permukaan bumi. Pemanasan global, distorsi cuaca dan iklim, berimplikasia menimbulkan wabah penyakit, virus, bakteri mengalami perubahan genetika dan sifat dasar, lantas muncullah penyakit-penyakit baru yang mematikan manusia, tanaman dan binatang. <em>Esuk lara sore mati, sore lara isuk mati</em>.</span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;">Ini baru sedikit ulasan mengenai apa sebab musabab terjadinya gempa, banjir, anginm dan wabah penyakit. Masihkan kita “menyalahkan” tuhan yang ujug-ujug mencoba-coba manusia ? Marilah berfikir dengan akal sehat, betapa ulah kita, ulah manusia telah menjadi penyebab utama kerusakan bumi ini. Tegakah kita kepada anak cucu generasi penerus kita, yang hanya kita warisi kerusakan, malapetaka, penyakit, wabah, kesengsaraan, penderitaan. Jika tidak <em>eling</em> dan <em>waspada</em>, <strong>diam-diam kita bisa berubah menjadi generasi biadab, keji, dan buas beringas, menjadi monster bagi anak turun kita sendiri…!! Siapa sesungguhnya yang menjadi dajjal ? </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>SIAPA YANG TAK BERAGAMA?</strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em>Tapa ngeli</em> berarti perilaku yang sesuai dengan kodrat alam atau kodrat ilahi. Pelaku “<em>tapa ngeli</em>” <strong>inilah sesunggunya secara hakekat dikatakan orang yang beragama</strong>. Sementara itu, mengikuti “air bah” berarti melawan kodrat alam, melawan hukum alam. <strong>Dan yang ini, tipikal orang yang tak beragama, sekalipun ia menganut salah satu agama yang ada</strong>. Atheis bukan berarti orang yang tidak menganut satu agamapun yang ada di bumi ini. Bagi saya pribadi, atheis lebih pas untuk menyebut orang yang perbuatannya selalu melawan dan menentang hukum alam. Sekalipun seseorang memeluk salah satu agama, namun perbuatannya selalu membuat kerusakan alam, mencelakai dan membunuh orang lain. Maka secara hakekat ia termasuk manusia tak beragama. <strong> </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong> </strong></span></p> <p style="text-align: justify; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong>Mari..kita renungkan bersama..!</strong></span></p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-14934298622394926612010-09-19T05:32:00.000-07:002010-09-19T05:33:25.570-07:00Misteri bulan suro<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">Misteri Di balik Bulan Sura</span></h2> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: aqua;" lang="IN"><span style="font-size: small;"><img class="alignnone size-medium wp-image-397" title="mykoi1" src="http://sabdalangit.files.wordpress.com/2008/12/mykoi1.jpg?w=131&h=167" alt="mykoi1" width="131" height="167" /></span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: aqua;" lang="IN"></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: aqua;" lang="IN"><span style="font-size: small;">MISTERI BULAN SURA </span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Bulan Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Tanggal 1 Sura akan jatuh pada hari Senin tanggal 29 Desember 2008. Secara lugas maknanya adalah merupakan tahun baru menurut penanggalan Jawa. Bagi pemegang tradisi Jawa <span> </span>hingga kini masih memiliki pandangan bahwa bulan Sura merupakan bulan sakral. Berikut ini saya paparkan arti bulan Sura secara maknawi dan dimanakah letak kesakralannya. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: aqua;" lang="IN"><span style="font-size: small;">MELURUSKAN BERITA “burung”</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Tradisi dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bagi yang memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan Sura aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat tidak bijaksana apabila kita buru-buru menganggapnya sebagai bentuk paham syirik dan kemusrikan. Anggapan seperti itu timbul karena disebabkan kurangnya<span> </span>pemahaman sebagian masyarakat akan makna yang mendalam di baliknya. <strong>Musrik</strong> atau <strong>syirik</strong> berkaitan erat dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit menilai hanya dengan melihat manifestasi perbuatannya saja. <span> </span>Jika musrik dan syirik diartikan sebagai bentuk penyekutuan Tuhan, maka <strong>punishment</strong> terhadap tradisi bulan Sura itu <span> </span>jauh dari kebenaran, alias tuduhan tanpa didasari pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan pemfitnahan. Biasanya anggapan musrik dan sirik muncul karena mengikuti trend atau ikut-ikutan pada perkataan seseorang yang dinilai secara dangkal layak menjadi panutan. Padahal tuduhan itu jelas merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan mengandung <em>stigma</em>, dan sikap menghakimi secara sepihak. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Masyarakat Jawa mempunyai <strong>kesadaran</strong> <strong>makrokosmos</strong>, bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik (<em>wadag</em>) maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun kekurangan. Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi metafisik merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa sukur akan karunia terindah dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya di hadapan Tuhan, dan dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia <strong>tidak seyogyanya mentang-mentang</strong> mengklaim dirinya sendiri sebagai <strong>mahluk</strong> <strong>paling sempurna dan mulia</strong>, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di sisi lain <strong>kesadaran mikrokosmos</strong> Javanisme bahwa <strong><em>akal-budi</em></strong> ibarat <strong><em>pisau bermata dua</em></strong>, di satu sisi dapat <strong>memuliakan </strong><span> </span>manusia tetapi di sisi lain justru sebaliknya akan <strong>menghinakan</strong> manusia, bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian alam tetap terjaga sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam merupakan <strong>perwujudan syukur tertinggi</strong> umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan bumi ini berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan umat manusia. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam tradisi Jawa sekalipun yang dianggap paling <em>klenik</em> sekalipun, prinsip dasar yang sesungguhnya tetaplah<span> </span>PERCAYA KEPADA TUHAN YME. Di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu diikuti kalimat; <em>saka kersaning Gusti</em>, <em>saka kersaning Allah</em>. Semua media dalam ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan kristalisasi dari simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip religiusitas ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Cara pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa kental akan penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya interaksi manusia terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya. Lingkungan alam dilihat <strong>memiliki dua dimensi</strong>, yakni <strong>fana/wadag</strong> atau fisik, dan lingkungan dimensi <strong>gaib atau metafisik</strong>. Lingkungan alam tidak sebatas apa yang tampak oleh mata, melainkan meliputi pula lingkungan yang tidak tampak oleh mata (gaib). Boleh dikatakan pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan atau dimensi gaib sebagai bentuk “keimanan“ (percaya) kepada yang gaib. Bahkan oleh sebagian masyarakat Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini atau diimani saja, tetapi lebih dari itu seseorang dapat membuktikannya dengan bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib sebagai bentuk pengalaman gaib. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa dimensi gaib merupakan sebuah realitas konkrit. Hanya saja konkrit dalam arti tidak selalu dilihat oleh mata kasar, melainkan konkrit dalam arti Jawa yakni termasuk hal-hal yang dapat dibuktikan melalui indera penglihatan<span> </span>maupun indera batiniah. Meskipun demikian penjelasan ini mungkin masih sulit dipahami bagi pihak-pihak yang belum pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasakan menjadi tidak masuk akal, sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong belaka. Pendapat demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang tidak semua orang dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum tentu tapat dengan realitas gaib yang sesungguhnya. Sedangkan agama sebatas memaparkan yang bersifat universal, garis besar, dan tidak secara rinci. Perincian mendetail tentang eksistensi alam gaib merupakan rahasia ilmu Tuhan Yang Maha Luas, tetapi Tuhan Maha Adil tetap memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk mengetahuinya walaupun sedikit namun dengan sarat-sarat yang berat dan tataran yang tidak mudah dicapai.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: aqua;" lang="IN"><span style="font-size: small;">MISTERI BULAN SURA</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><span> </span>Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa.<span> </span>Di samping itu bagi masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan sedemikian rupa.<span> </span>Sehingga bulan Sura juga merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan adalah; <strong>jagad makhluk halus</strong> ; jin, <em>setan</em> (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman, benatang gaib, serta <strong>jagad leluhur</strong> ; alam arwah, dan bidadari. Antara jagad <em>fana </em>manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya.<span> </span>Tetapi dalam <strong>berinteraksi</strong> antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia<span> </span>di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon (Jawa; <em>Jemuah</em>) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk <em>njangkung</em> dan <em>njampangai</em> (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling <strong>sakral</strong> bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak <em>eling</em> dan <em>waspada</em>, dapat terkena dampaknya. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam siklus hitungan waktu tertentu yang merupakan rahasia besar Tuhan, terdapat suatu bulan Sura yang bernama <strong>Sura Duraka</strong>.<span> </span>Disebut sebagai bulan <em>Sura Duraka</em> karena merupakan bulan di mana terjadi <em>tundan dhemit</em>. <strong>Tundan dhemit</strong> maksudnya adalah suatu waktu di mana terjadi akumulasi para <em>dedemit</em> yang mencari “korban” para manusia yang tidak <em>eling</em> dan <em>waspadha</em>. Karena pada bulan-bulan Sura biasa para dedhemit yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan <em>Sura Duraka</em>. Sehingga pada bulan Sura Duraka biasanya ditandai banyak sekali musibah dan bencana melanda jagad manusia. Bulan Sura Duraka ini pernah terjadi sepanjang bulan Januari s/d Februari 2007.<span> </span>Musibah banyak terjadi di seantero negeri ini. 1) Di awali tenggelamnya KM Senopati di laut Banda yang terkenal sebagai palung laut terdalam di wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan ini memakan korban ratusan jiwa. 2) Kecelakaan Pesawat Adam Air hilang tertelan di palung laut dekat teluk Mandar, posisi di 40 mil barat laut Majene. 3) Kereta api mengalami anjlok dan terguling sampai 3 kali kasus selama sebulan. 4) Tabrakan bus di pantura, bus menyeruduk rumah penduduk. 5) Kecelakaan pesawat garuda di Yogyakarta. 6) Beberapa maskapai penerbangan mengalami gagal take off, gagal landing, mesin error dsb. 7) Jakarta dilanda banjir terbesar sepanjang masa. <img src="http://s.wordpress.com/wp-includes/images/smilies/icon_cool.gif" alt="8)" class="wp-smiley" /> Kapal terbakar di Sulawesi dan maluku. 9) Kapal laut di selat Karimun terbakar lalu tenggelam memakan ratusan korban berikut wartawan TV peliput berita. 10) Banjir besar di Jawa Tengah, Angin puting beliung sepanjang Pulau Jawa-Sumatra. Dan masih <span> </span>banyak lagi kecelakaan pribadi yang waktu itu Kapolri sempat menyatakan sebagai bulan kecelakaan terbanyak meliputi darat, laut dan udara. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Atas beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura. <span> </span>Sedikitnya ada 5 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini;</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -18pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 36pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span><span style="font-size: small;">1.</span><span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span><span style="font-size: small;"><strong>Siraman malam 1 Sura</strong>; mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “<em>sembah raga</em>” (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; <em>pitu</em>, merupakan doa agar Tuhan memberikan <em>pitulungan</em> atau pertolongan). Atau 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; <em>sewelas</em>, merupakan doa agar Tuhan memberikan <em>kawelasan</em>; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; <em>pitulas</em>; agar supaya Tuhan memberikan <em>pitulungan</em> dan <em>kawelasan</em>). Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -18pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 36pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span><span style="font-size: small;">2.</span><span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span><span style="font-size: small;"><strong>Tapa Mbisu</strong> (membisu); tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun <span> </span>orang lain.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -18pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 36pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span><span style="font-size: small;">3.</span><span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span><span style="font-size: small;">Lebih Menggiatkan <strong>Ziarah</strong>; pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya (<strong>menjadi <em>pepunden</em></strong>). Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam beliau. Sebab <strong>makam</strong> merupakan <strong>monumen sejarah</strong> yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur; mengenang dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita akan selalu ingat akan <em>sangkan paraning dumadi</em>. Asal-usul kita ada di dunia ini adalah dari turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan berpulang ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa. Mengapa harus datang ke makam, tentunya atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa ilmu, kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah sebagai keturunannya kita masih tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah ? Jika direnungkan secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap demikian tidak lebih dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif) saja. Anak turun yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam para leluhurnya, apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa mendoakan dan merawat seonggok makam yang sudah tertimbun semak belukar. <strong><span style="color: red;">Betapa teganya hati kita</span></strong>, <span style="color: red;">bahkan dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar untuk kemalasannya sendiri</span>, bisa saja menggunakan alasan supaya menjauhi kemusyrikan. <strong>Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah berhubungan dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat dengan hati</strong>. Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah sadar sebagian masyarakat kita, <strong>bahwa lebih enak menjadi orang bodoh,</strong> ketimbang menjadi orang winasis dan prayitna tetapi konsekuensinya tidak ringan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -18pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 36pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span><span style="font-size: small;">4.</span><span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span><span style="font-size: small;"><strong>Menyiapkan sesaji bunga setaman</strong> dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang <em>njangkung</em> dan <em>njampangi</em> anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di dalamnya (<em>silahkan</em> <em>dibaca dalam forum tanya jawab</em>). Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar supaya <strong>terdapat perbedaan</strong> antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan <strong>kuburan seekor kucing</strong> yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -18pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 36pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span><span style="font-size: small;">5.</span><span style="font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span><span style="font-size: small;"><strong>Jamasan pusaka</strong>; tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau <em>memetri</em> warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi. Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawannya, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut (<em>disembeded</em>) dari “akarnya”. Tumbuh berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik bangsa asing. Kita sadari atau tidak, tampaknya telah lahir <em>megatrend</em> terbaru abad ini, sekaligus paling berbahaya, yakni merebaknya bentuk <strong>the newest imperialism</strong> melalui cara-cara politisasi agama.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: -18pt; text-align: justify; margin: 0pt 0pt 0pt 36pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">6. <strong>Larung sesaji</strong>; larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Betapa tidak, jikalau kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji. Baiklah, berikut saya tulis tentang konsep pemahaman atau prinsip hati maupun pola fikir mengenai tradisi ini. <strong><em>Pertama</em></strong>; dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satu-satunya penentu kodrat. <strong><em>Kedua</em></strong>; adalah nilai filosofi, bahwa ritual larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus. <em><strong>Ketiga</strong></em>; selain kedua hal di atas, larung sesaji merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad metafisik. Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogyanya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Maka seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap harus dijaga.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;"> </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: lime;" lang="IN">Sugeng warsa enggal</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: lime;" lang="IN">Senin Legi, 1 Sura 1942 taun je</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: lime;" lang="IN">(29 Desember 2008)</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: lime;" lang="IN"> </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: lime;" lang="IN">KITA adalah 1 bangsa,</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: lime;" lang="IN">dalam 1 bangsa tidak berlaku; pihakmu, </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: 14pt; color: lime;" lang="IN">pihakku, dan pihak mereka</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: lime;" lang="IN"><span style="font-size: small;"> </span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: aqua;" lang="IN"><span style="font-size: small;">Dalam rasa kebersamaan ini semoga Tuhan melimpahkan berkah, rahmat, anugrah, dan kemuliaan bagi kita semua, untuk menggapai kehidupan sejati yang lebih baik. Kita jaga toleransi, redamkan hawa nafsu angkara, endapkan segala ke-aku-an, kita tundukkan sikap narsis; egosentris; egois; bengis. Bahu-membahu, menciptakan negeri yang indah, sejuk, tenteram. Kita buang benih-benih kebencian, dan taburkan benih-benih kedamaian. <span> Kita semai rasa kasih sayang. K</span>ita wujudkan negeri yang penuh kebahagiaan, untuk saat ini dan selamanya. Amin</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;"> </span></strong></span></p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-70687105744547578662010-09-19T05:22:00.000-07:002010-09-19T05:24:26.714-07:00Membangun kesadaran rasa sejati<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">Membangun Kesadaran Rasa Sejati</span></h2> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">DINAMIKA PERKEMBANGAN </span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">ILMU ILMIAH MODERN, DAN INTUISI</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">PRIMITIF-MODERN-POSTMODERNISM </span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">“<em>Melatih diri mengolah intuisi dan Rasa Sejati</em>”</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><em><span style="font-size: 10pt; color: purple;" lang="IN">By: sabdalangit ae banyusegoro</span></em></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Prologue</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 11pt;" lang="IN">Alur penalaran logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala sesuatu adalah ketiadaan. Kata filsuf <span style="color: rgb(255, 102, 0);">ke-tiada-an</span> itu <span style="color: rgb(255, 102, 0);">ada</span> yang <span style="color: rgb(255, 102, 0);">tiada</span>. Kalimat tersebut sebagai premis mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai tahap awal prestasi <span style="color: rgb(255, 102, 0);">kesadaran akal-budinya</span> dalam memahami hukum alam yang universal ini</span></em><span style="font-size: small;">.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Namun benarkah demikian ke-<em>ada</em>-an yang sesungguhnya ? Atau jangan-jangan hakekat <em>ketiadaan</em> adalah hanya semata karena <strong>ketidaksadaran manusia saja</strong> ? Saya pribadi enggan meletakkan justifikasi pada ke-tiada-an. <span style="color: rgb(153, 204, 0);">Sebaliknya lebih senang memilih hipotesis kedua yakni bukan ke-<em>tiada</em>-an lah sesungguhnya yang ada, namun <strong>ketidaksadaran manusia</strong></span>. Dengan asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban, yang membutuhkan pengerahan <strong>indera batin</strong> (ke-<em>enam</em>). Lebih sulit lagi karena kebanyakan manusia gagal mereduksi <strong>hegemoni panca indera (jasad)</strong>. Jika demikian halnya manusia layak mengibarkan “bendera putih” sebagai sikap menyerah atas segala keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran semu dengan buru-buru mengambil keputusan meyakinkan sbb; <em>adalah tabu mengutak-atik ranah gaib, karena ia <span> </span>hanya membutuhkan keyakinan saja</em>. Dalam kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap membuka diri agar kesadaran semakin meningkat. Pada tataran kesadaran tertentu seseorang akan sampai pada pemahaman bahwa : <span style="color: aqua;">“<em>kebenaran sejati ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal budi, kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan satu di antara serpihan cermin itu</em>”.</span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Kesadaran</span></span></strong><strong><span style="font-size: 11pt; color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN">; Alat Untuk Membuka Rahasia Rumus Tuhan</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Adalah menjadi tugas umat manusia untuk membuka tabir rahasia kehidupan. Baik dimensi fisik (<em>wadag</em>), maupun dimensi metafisik berupa misteri alam kegaiban. Semakin banyak kita mengungkap hukum-hukum alam, kodrat alam atau kodrat Tuhan, maka akan semakin banyak terungkap misteri kehidupan ini. Sedangkan saat ini, prestasi manusia seluruh dunia mengungkap rahasia kehidupan mungkin belum lah genap <em>0,0000000001 %</em> dari keseluruhan rahasia yang ada. Terlebih lagi rahasia eksistensi alam gaib. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Kebenaran rasio seumpama membayangkan laut. Kebenaran empiris melihat permukaan air laut. <span style="color: aqua;">Kebenaran intuitif ibarat menyelam di bawah permukaan air laut. Tugas penjelajahan ke kedalaman dasar laut bukan lah tugas akal-budi, namun menjadi tugasnya <em>sukma sejati</em> yang dibimbing oleh <em>rasa sejati</em></span>. Intuisi telah menyediakan pengenalan bagi siapapun yang ingin menyelam ke kedalaman laut. Jangan heran bilamana akal-budi disodorkan informasi aneh (asing dan nyleneh) serta-merta bereaksi menepis <span style="color: rgb(255, 102, 0);">..<em>it’s</em> <em>nonsense</em> !</span> Reaksi yang lazim & naif hanya karena akal-budi kita lah yang sesungguhnya sangat terbatas kemampuannya. Lain halnya dengan kecenderungan perilaku orang-orang post-modernis tampak pada perilaku orang-orang sukses di masa kini. Mereka percaya akan kemampuan intuisi. Malah dengan bangga memproklamirkan diri jika kesuksesannya berkat dimilikinya talenta intuisi yang tajam. Dengan kata lain untuk meraih sukses tak cukup hanya berbekal teori-teori ilmu ilmiah serta pengalaman akal-budi (<em>rasionalisme-empirisisme</em>) saja. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Kesadaran adalah Proses yang Dinamis</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Berawal dari <strong>ketidaksadaran</strong> lalu berproses menjadi <strong>kesadaran</strong> tingkat awal yakni <strong>kesadaran jasad/ragawi</strong>. Dari kesadaran jasad meningkat menjadi kesadaran akal-budi yang diperolehnya setelah manusia mampu menganalisa dan menyimpulkan sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca-indera. Seiring perkembangan kedewasaan manusia, kesadaran akal-budi (nalar/rasio) meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut orang yang pandai atau kaya ilmu pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat lahiriah atau wadag, jika dikembangkan lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran batiniah. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Kesadaran Tinggi adalah Berkah Bagi Alam Semesta</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Semakin tinggi kesadaran manusia (<em>high consciuousness</em>) menuntut tanggungjawab yang lebih besar pula. Karena semakin tinggi kesadaran berarti seseorang semakin berkemampuan lebih serta dapat melakukan apa saja. <strong>Celakanya</strong>, bila kesadaran tinggi jatuh ke dalam penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia bukan melakukan sesuatu yang konstruktif untuk alam semesta (<em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">rahmat bagi alam</span></em>), sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif (<em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">laknat kepada alam</span></em>). Sementara tanggungjawab manusia adalah menjaga <strong>harmonisasi alam semesta </strong>dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebagai contoh kita mengakui bahwa Tuhan itu Maha Maha Pengasih maka <em>kita harus welas asih pada sesama</em>. Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah dan Penolong, <em>maka kita tidak boleh pelit dalam membantu dan menolong sesama</em>. Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka <em>kita tak boleh primordial, rasis, hipokrit, etnosentris, mengejar kepentingan sendiri, kelompok atau golongannya. </em>Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana; <em>maka kita tidak boleh mengejar “api” (nar) ke-aku-an,</em> yakni rasa <em>mau menang sendiri, mau bener sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari kesalahan orang lain</em>. Demikian seterusnya, sehingga perbuatan kita menjadi <strong>berkah</strong> untuk lingkungan sekitar, untuk alam semesta dengan segala isinya. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Proses berkembang manusia bersifat <em>adi kodrati</em> menuju pada hukum/rumus alam yang paling dominan yakni PRINSIP KESEIMBANGAN (harmonisasi) alam semesta. <span style="color: aqua;">Penentangan rumus alam/kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah malapetaka besar kehidupan manusia yakni<span> </span>kehancuran peradaban bahkan kehancuran bumi</span>. Dalam terminologi Jawa tanggungjawab atas dicapainya kualitas kesadaran manusia tampak dalam pesan-pesan arif nan bijaksana untuk meredam nafsu misalnya; <em>ngono yo ngono ning aja ngono</em> (jangan berlebihan atau lepas kendali), <em>aja dumeh</em> (jangan mentang-mentang), serta menjaga sikap <em>eling</em> dan <em>waspadha</em>. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Memahami kesadaran tidaklah mudah, karena bekalnya adalah kesadaran pula. Sebagaimana digambarkan dalam filosofi Jawa dalam bentuk <em>saloka</em> : <strong><em>Nggawa latu adadamar</em></strong><em> </em>; …membawa api untuk mencari api”. Hal itu menjadi satu problematika tersendiri (<em>the problem of consciousness</em>) umpama tamsil ; <em>..kalau ingin cari makan untuk mengisi perutmu, syaratnya perutmu harus kenyang dulu</em>.<span> </span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">TAHAP-TAHAP KESADARAN</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;"> </span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">1. Kesadaran Jasad</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Kesadaran jasad adalah kesadaran tingkat dasar atau awal pada manusia. Kesadaran paling dasar ini terjadi pada waktu bayi baru lahir di dunia belum memiliki kesadaran akal budi. Namun melalui pancaindera raganya telah memiliki sensitifitas merespon rangsang atau stimulus. Misalnya jika tubuh bayi merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi si bayi akan menangis. Reaksi dapat bekerja otomatis karena setiap makhluk hidup dibekali sensor keselamatan berupa naluri. Naluri sebagai alat sederhana yang terdapat di tubuh kita yang berfungsi ganda menciptakan kesadaran sekaligus pelindung diri. Melalui naluri inilah sekalipun akal-budi belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah lebih dulu mampu merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya. Menangis adalah salah satu cara menjaga diri (<em>survival</em>) yang paling alamiah dan sederhana bagi manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut <em>ubo rampe</em> naluri ini masih setara dengan kesadaran yang dimiliki binatang. Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus karena akan terjadi pergantian musim. Burung tersebut<span> </span>hanya berdasarkan naluri kebinatangannya saja untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau induk binatang yang menyusui anaknya hingga usia tertentu kemudian indungnya menyapih. Itu semua bukan berasal dari kesadaran akal-budi melainkan berdasarkan kesadaran jasad saja. Kesadaran naluri tidak diperlukan proses belajar karena naluri akan berkembang secara alamiah dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan nalar atau akal-budi. Jika ada sekolah gajah di dalamnya bukanlah proses belajar mengajar yang melibatkan kegiatan analisa akal-budi. Hanya berupa pembiasaan naluri (tanpa analisa) dengan cara menyakiti tubuh (hukuman) dan hadiah/menyamankan tubuh (<em>stick & carrot</em>). Pembiasaan naluri ini merupakan cara-cara paling maksimal yang sanggup direspon oleh naluri hewani. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Pada tingkat kesadaran ini mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai baik-buruk, dan nilai spiritual (roh/jiwa). Akan tetapi perilakunya telah mengikuti hukum alam yang paling sederhana, paling penting, namun mudah direspon semua makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar mengikuti hukum alam sebagai bentuk <strong>harmonisasi</strong> dengan alam semesta. Misalnya hukum rimba, siapa yang kuat secara fisik akan memenangkan pertarungan. Semakin kuat binatang, jumlah populasinya semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak. Hukum alam tampak pula pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan akan lebih sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila salah satu mata rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan mengganggu sistem keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang bersifat alamiah (<em>force major</em>) atau di luar kekuatan manusia pada galibnya merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam menuju keseimbangan alam (harmonisasi). </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><strong>Pada tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk</strong>. <span style="color: rgb(255, 102, 0);">Prinsip kebenaran manakala segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat keseimbangan alam lahir, bukan kebenaran sejati yang ada dalam alam batin</span>. Sekalipun membunuh, binatang tidaklah bersalah, karena ia hanya mempertahankan wilayahnya, atau demi memenuhi kebutuhan perutnya. Setara dengan perbuatan bayi mengencingi jidat presiden bukanlah pelanggaran norma hukum dan norma sosial. <strong>Karena kesadaran bayi sepadan dengan kesadaran hewani atau orang hilang ingatan, yakni sebatas kesadaran jasad dan <span> </span>tentunya belum berada dalam koridor konsekuensi norma baik dan buruk</strong>. Bayi dan hewan tidak memiliki tanggungjawab sebagai konsekuensi atas kesadaran jasadnya, lain halnya dengan kesadaran akal-budi manusia dewasa. Sudah menjadi kodrat atau rumus alam bahwa semakin tinggi kesadaran makhluk hidup, akan membawa dampak pada tanggungjawab lebih besar pula.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Kesadaran Akal Budi </span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Setingkat lebih tinggi dari kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau rasio. Kesadaran akal budi berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan sosialisasi (pendidikan). Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai belajar memanggil ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal itu terjadi karena kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada kesadaran aka-budi. Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan atau stimulus. Rangsang atau stimulus tak ubahnya data yang akan diproses oleh <em>software</em> akal-budi menggunakan <em>hardware</em> otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan kegiatan<span> </span>ilmiah yang melibatkan pengolahan data-data. Pada tahap ini upaya manusia mengungkap tabir misteri hukum alam sudah lebih maju karena menggunakan kemampuan rasio atau akal budinya. Selanjutnya kesadaran akal-budi dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (<em>rasionalisme</em>) dan pembuktian secara empiris (<em>empirisisme</em>). </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">1. Kesadaran Nalar</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup epistemologi. <em>Pertama</em>, <em>idealism</em> atau <em>rasionalism</em> (Plato), suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, <em>category</em>, <em>form</em>, sebagai nara sumber ilmu pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan suatu nilai kebenaran diperoleh melalui kemampuan penalaran <strong>rasio </strong>saja dalam arti mengandalkan kekuatan logika. Kesadaran akan bertambah secara kuantitas bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima akal atau memiliki sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan ini fenomena sudah cukup dianggap nilai kebenaran walau terkadang bersifat parsial. Kelemahan kesadaran rasionalisme <span> </span>adalah mensyaratkan kita tidak cukup bekal (<strong><em>nggawa latu</em></strong>) sebagai alat komparasi atau landasan silogismenya. Rasionalisme dalam menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja. Aristoteles sebagai penerus Plato melakukan pendekatan <em>realisme</em> menemukan alat ukur yang disebut <strong><em>organon</em></strong>. Prinsip organon mampu menjelaskan segala sesuatu yang ada (<em>fenomenon</em>). Namun <em>Organon</em> sebagai metode pengajaran atau penjelasan yang bersifat deskriptif belum mampu melakukan eksplanasi secara mendalam. Pada akhirnya dengan metode tersebut Aristoteles menyadari tidak mampu bertindak lebih banyak terutama dalam upaya menjelaskan eksistensi di luar diri (<em>being</em>) yang melampaui akal-budi manusia. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Kesadaran akal-budi bertujuan mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal yang rasional, realis, dan empiris. Namun kebenaran dalam <em>scope</em> kesadaran ini masih bersifat <strong>kebenaran koherensi</strong>. Yakni kebenaran dapat diketahui jika ada suatu pernyataan atau premis kemudian diikuti oleh premis yang lain yang mendukungnya. Dari dua premis ini kemudian dapat ditarik kesimpulan (<em>conclusion</em>) sehingga menjadi <em>kebenaran kesimpulan</em> yang sesuai dengan sistematika rasio manusia (<em>logic</em>). </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">2. Kesadaran Empirisisme</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Sebagai jawaban atas kelemahan Aristoteles dengan prinsip <em>Organon</em> selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang ditemukan Francis Bacon yakni <strong><em>Novum Organum</em></strong>. Bagi Bacon kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan pembuktian <em>empiris</em> melalui <em>eksperimen</em>. Di dalamnya harus ada proses menjadi. Hal itu memicu <strong>kesadaran empiris</strong> dengan <em>metode eksperimentasi</em>. Dalam perkembangannya <em>empiricism</em> disebut juga <em>realism</em> yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera jasad sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan. Kedua aliran tersebut lahir di Yunani pada tahun 423-322 SM. Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain di antaranya, <em>kritisisme</em> atau <em>rasionalisme kritis</em>, <em>positivisme</em>, <em>fenomenologi</em> dan lain-lainnya. Kesemuanya lahir setelah masa <em>renaissance</em> abad pertengahan di Barat. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam kesadaran empiris prinsip kebenaran dipahami sebagai <em>kebenaran korespondensi</em>. Yakni kebenaran setelah dilakukan <em>cross-chek</em> antara pernyataan dalam ide atau gagasan, dengan realitas faktual yang ada. Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita sudah melakukan pembuktian dengan mencicipi rasa garam.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Pada tahap ini <strong>spiritualitas</strong> yang berhasil dibangun baru pada tahap <strong><em>sekulerisme</em></strong>. Semua hukum alam, sains dan teknologi dicapai manusia melalui pengalaman empiris. Para penganutnya<span> </span>disebut mazab <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">empirisisme</span></em>. Kesadaran diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan indera jasad semata. Konsekuansinya, <strong>religi </strong>dan<strong> sistem kepercayaan </strong>serta<strong> hukum-hukum alam </strong>haruslah dapat diterima<strong> dalam batas kemampuan akal-budi </strong>dan<strong> indera jasad semata.</strong> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam perkembangan selanjutnya kedua metode pencari kesadaran (kebenaran) di atas dirasakan masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai <strong>kesadaran sejati</strong> dirasakan masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan terdapat kelemahan secara signifikan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Dinamika Kesadaran A La Barat</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Sejenak kita <em>flash back</em>, sejak ditemukan filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan manusia untuk meningkatkan kesadaran atau mencari kebenaran. Lahir perpaduan antara cabang filsafat <em>empirisisme</em> dengan <em>rasionalisme</em> yang menuntut eksperimen sebagai upaya verifikasi kebenarannya. Sejak itu sains dan teknologi berkembang, filsafat menemukan cabang-cabang keilmuannya secara luas. Orang mulai mengenal metode meraih kesadaran akal-budinya melalui filsafat <em>ontologi</em>, <em>ephistemologi</em>, dan <em>aksiologi</em>, tiga langkah metodis yang saling berkorelasi sebagai pisau pengupas rahasia hukum alam yang belum terkuak. <em>Epistemologi</em> merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : </span><em><span style="font-size: 11pt;" lang="IN">apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia ?</span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Epistemologi mempunyai persoalan pokok secara garis besar terbagi dua. <strong><em><span style="color: aqua;">Pertama</span></em></strong>, persoalan tentang apa yang kelihatan (<em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">phenomena/appearance</span></em>) </span><em><span style="font-size: 11pt;" lang="IN">Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Apakah sifat dasar pengetahuan?</span></em><span style="font-size: small;">. <strong><em><span style="color: aqua;">Kedua</span></em></strong>, versus hakikat (<em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">noumena/essence</span></em>): </span><strong><em><span style="font-size: 11pt; color: aqua;" lang="IN">Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?</span></em></strong><em><span style="font-size: 11pt; color: aqua;" lang="IN"> </span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Penggabungan kedua metode tersebut membuat suatu kemajuan pesat di bidang <em>kowledge</em> pada zaman <em>renaissance</em>. Ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi mengalami perkembangan sangat pesat. Hal itu menjadi prestasi besar kesadaran manusia mampu membaca dan mengungkap rahasia-rahasia hukum/rumus/kodrat alam yang masih tersimpan rapat-rapat sebelumnya. <strong>Sesuatu yang pada abad-abad sebelumnya dianggap tidak masuk akal, bertentangan dengan hukum alam, pada masa tersebut menjadi sangat rasional, masuk akal dan tak terbantahkan sebagai wujud temuan baru akan hukum-alam. </strong></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Begitulah manusia di belahan Barat bumi dalam dinamika kesadaran dan menemukan hakekat/essence kehidupan (<em>noumena</em>) di jagad raya ini. Manusia selalu berusaha menjabarkan apa sesungguhnya alam semesta ini dan bagaimana sesungguhnya ia terjadi. Planet bulan diketahui memiliki jarak yang sangat jauh dengan bumi, <strong>pada zaman dulu pergi ke bulan dianggap hal yang mustahil atau melawan</strong> <strong>kodrat/hukum alam</strong>. Anggapan pesimis tersebut merupakan bentuk keterbatasan kesadaran akal budi dalam menterjemahkan rumus atau hukum alam. Sekalipun hal yang bersifat kasat mata <em>wadag</em> (fenomena) toh tugas menterjemahkan hukum alam sangat rumit dan teramat sulit. Namun bila diperhatikan begitu manusia mampu mengungkap rahasia ilmu atau rumus alam semesata tiba-tiba kita supraise ternyata manusia mampu seolah “melawan kodrat” hukum alam. Hanya dengan bekal kurang lebih 300 Milyar Rupiah anda sudah dapat menikmati piknik ke bulan. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Penemuan Bacon meskipun efeknya sangat luar biasa namun menemukan keterbatasan pula <strong>ketika berhubungan dengan nilai-nilai, kematian, jiwa, roh, kenyataan yang paradoks, Tuhan, realitas yang transenden serta kenyataan yang tidak bisa dieksperimentasi atau dibawa ke laboratorium. Maka <span style="color: rgb(255, 102, 0);">Novum Organum</span> tidak mampu menjawabnya</strong>. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN">Keterbatasan Kesadaran Akal Budi </span></strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN">:</span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><span style="color: aqua;" lang="IN">Kesadaran tinggi (high consciuousness) diperlukan untuk mengetahui <em>noumena</em>, berupa realitas hakekat atau <em>essence</em></span>. Dalam rangka membangun kesadaran tinggi pengetahuan akal budi kemampuannya sangat terbatas karena terdapat berbagai kelemahan mendasar. Paling tidak dapat dikemukakan tiga alasan berikut. <em><span style="color: aqua;">Pertama</span></em>, sebatas <strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);">pengetahuan kognitif</span></strong> (<em>cognitive science</em>). Kesadaran akal-budi semata-mata sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian berkembang (<em>emerge</em>). Kesadaran dalam pendekatan ini mengatakan : <em>“…dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis</em>. Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di dalam otak manusia. Kesadaran yang dihasilkan adalah bersifat obyektif atas apa yang bisa dilihat dengan indera atau <strong>fenomena</strong>. Kesadaran model ini sering digunakan untuk menjelaskan akan kejadian alam yang di dalamnya mengandung rangkaian hukum sebab-akibat. Namun kita harus menyadari bahwa semua data-data sangat terbatas dengan apa yang dapat ditangkap oleh indera jasad.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><em><span style="color: aqua;" lang="IN">Kedua</span></em>, sebatas <strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);">penafsiran subyektif</span></strong>. Melalui <strong>instrospeksionisme</strong> (<em>introspectionism</em>). Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang pertama yang tertuju pada sesuatu obyek di luarnya. Kesadaran lantas dilakukan dengan cara <strong><em>penafsiran</em></strong>. <strong>Penafsiran </strong>terhadap realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari dan dialami sendiri dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Kesadaran akal budi pada taraf ini <strong>belum mampu menjawab akan energi metafisika</strong> yang melampaui <strong>fisika</strong>.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><em><span style="color: aqua;" lang="IN">Ketiga</span></em>, bersifat <strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);">relative-obyektif</span></strong>. Dalam disiplin sosiologi terdapat<span> </span>pendekatan psikologi sosial. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain <strong>kesadaran</strong> adalah <strong>produk dari sistem sosial</strong> yang ada di dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya teori marxisme dan generasinya (<em>marxianism</em>: sosialisme, komunisme leninisme dan stalinisme). Kapitalisme, konstruktivisme, dan hermeneutika kultural. Semua pendekatan ini berakar pada satu asumsi bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala individu melainkan ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat. Masih dalam <strong>perspektif sosiologis</strong> sistem kepercayaan masyarakat (agama, ajaran, sistem nilai, kebiasaan, adat-istiadat, dan tradisi) merupakan bagian dari sistem budaya. Sekalipun dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi (<strong>spiritual</strong>) namun nilai-nilai religi tidak lepas dari jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain masih berada dalam lingkup <em>relative-obyektif</em>. Hal ini dapat dilihat dari istilah dan bahasa yang terdapat pada kalimat-kalimat suci, serta ritual-ritual atau kegiatan seremonial keagamaan yang kental dengan sistem budaya tertentu. Termasuk nilai-nilai sakral dan mistisnya tampak berkaitan dengan legenda dan sejarah nenek-moyang masyarakat tertentu berupa <strong>warisan</strong> sistem religi primitif animisme dan dinamisme.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">KESADARAN INTUITIF</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Menjawab kelemahan Bacon di atas, seorang filsuf P.D. Ouspensky memperkenalkan alat ukur baru yang disebut <em>Tertium Organum</em>. Yakni kebenaran yang bersifat <strong>intuitif</strong> yang merangkum keduanya, tesisnya bahwa kenyataan itu harus rasional dan harus dieksperimentasi. Namun tidak berhenti di situ saja karena di dalamnya akan terjadi proses perkembangan atau evolusi kesadaran menuju kesadaran tingkat tinggi (<strong><em>higher consciuousness</em></strong>) untuk memperoleh kenyataan tingkat tinggi (<strong><em>higher reality</em></strong>). P.D. Ouspensky menyebut temuan metodenya dengan berbagai istilah: Mistycal Locic, Extase Logic, Paradoxical Logic. Sebuah metode sebagai upaya yang pasti menuju <em>kebenaran kenyataan </em>yang esensial (<strong>noumena</strong>). Tampaknya Ouspensky memiliki kesadaran bahwa <span style="color: rgb(255, 102, 0);">realitas di luar rasio</span> belum tentu sebagai sesuatu ke-tidakbenar-an. Bisa jadi hanyalah ketidak-tahuan rasio manusia semata sehingga seseorang seyogyanya membuka diri pada hal-hal yang terkesan irasional sekalipun. Pemikiran Ouspensky mengajak kita agar selalu berpositif thinking dalam memandang segala sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar yang seolah tidak masuk akal atau <em>non-sense</em>. Dengan <em>postulat</em> bahwa manusia itu lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah diketahui mengenai apa yang terjadi dalam jagad raya. <em>Positive Thinking</em> harus dibarengi dengan sikap ragu-ragu. Namun bukanlah ragu-ragu yang menyepelekan, tetapi ragu-ragu agar menjadi tahu (<strong><em>skeptisisme</em></strong>). Dengan kata lain, Ouspensky secara tidak langsung mengatakan <strong>orang yang merasa paling tahu</strong> <strong>atau merasa diri telah mengetahui banyak hal</strong> <strong>sesunggunya ia orang yang</strong> <strong>tidak banyak tahu</strong>. Mafhum lah kita mengapa sikap para filsuf besar Yunani tampak paradoksal dengan mengatakan bahwa; <strong><span style="color: aqua;">semakin banyak tahu, justru dirinya merasa semakin banyak yang tidak diketahuinya</span>.</strong> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Teori intuisi menyebutkan bahwa intuisi atau pengilhaman adalah semacam penglihatan yang amat tajam. Karena itu penulis-penulis dilihat sebagai seniman yang memiliki kemampuan berimajinasi atau mengembangkan perasaannya. <span> </span>Sehingga mereka dianggap <em>genius-genius</em> dalam spiritual. Sementara itu Pengertian intuisi menurut <strong>Webster Dictionary</strong> adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan langsung tanpa melalui penalaran dan observasi terlebih dahulu. Senada dengan itu menurut psikolog sosial dan sekaligus pengikut Guru Besar Psikologi Daniel Kahneman pada Princeton University,<strong> David G. Myers</strong> (<em>Intuition; Its power and perils; 2002</em>) pemikiran intuitif itu layaknya persepsi, sekelebat gambaran, dan tanpa usaha. Kalimat Kahneman yang menjadi pedoman Myers adalah ; ….<em>kami mempelajari berbagai intuisi, beragam pemikiran dan preferensi yang mendatangkan pikiran secara cepat tanpa banyak refleksi.</em> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Berangkat dari kesadaran betapa sulitnya membuat suatu teori dalam ranah intuitif yang banyak mengandung misteri kehidupan, lebih lanjut Ken Wilber (dalam: <em>An Integral Theory of Consciousness, 1997</em>) menyarankan agar melakukan pendekatan secara <em>integratif</em>. Setidaknya menempuh dua langkah berikut; <em>Pertama</em> penelitian yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang sama-sama ingin memahami fenomena kesadaran manusia. Karena disadari bahwa eksistensi kesadaran adalah suatu <em><span style="color: aqua;">enigma</span></em>, yakni sesuatu yang misterius. Suatu ke-ada-an di balik realitas fisik (metafisika), <em>beyond side</em>. Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya mampu memberikan sumbangan untuk memahami <em>enigma</em> ini. Setiap pendekatan penting, dan layak mendapatkan dukungan lebih jauh untuk mengembangkan penelitiannya. Saran Wilber sangat bijaksana, namun demikian, pendekatan integral ini lebih terasa sebagai himbauan moral saja. Ia tidak mengkonsep secara tegas dalam tataran <em>aksiologi</em> sebagai terobosan ilmu pengetahuan. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dasar manusia, tak pernah merasa puas akan hasil pencapaiannya maka dikemukakan lagi pendekatan yang lebih canggih untuk menggali kemampuan intuisi manusia. Disebut sebagai teori <strong><em>energi-energi halus</em></strong> (<em>subtle energies</em>). Di dalam pendekatan ini, hipotesis<span> </span>penelitian dilakukan dengan berpijak pada <strong>asumsi</strong> atau <strong>pengandaian</strong>, bahwa ada sesuatu yang disebut <strong>energi kehidupan</strong> yang <strong>melampaui fisika</strong>. Energi ini mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia secara signifikan. Energi ini memiliki banyak nama lain, seperti <em>tenaga dalam</em>, <em>aura</em>, <em>prana</em>, <em>ki</em>, dan <em>chi</em>. Wilber secara sederhana melihat bahwa energi kehidupan ini merupakan penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan kesadaran manusia, dan sebaliknya, yakni dunia kesadaran manusia yang tertuju pada dunia luarnya. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Meredam Arogansi Ilmiah</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Jika dilihat sekilas beberapa pendekatan di atas terlihat sangat erat dengan unsur mistik, sehingga tidak jarang kadar ilmiahnya diragukan. Akan tetapi, paling tidak Wilber menegaskan bahwa <strong>fenomena kesadaran itu tidak melulu ilmiah</strong>, tetapi merupakan suatu <strong>misteri</strong>. Maka pendekatan apapun sebenarnya bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini <strong>arogansi ilmiah</strong> sedapat mungkin harus dicegah. Saran Wilber tersebut patut dijadikan <em>warning</em>, betapa pendekatan ilmiah yang bertumpu pada akal dan paca indera saja seringkali justru membatasi kemampuan manusia dalam mengungkap misteri kehidupan. Hegemoni arogansi ilmiah<span> </span>justru membuat manusia <em>teralienasi</em> dengan ke-<em>ada</em>-an misteri kehidupan yang sejatinya. Sama halnya dengan statemen-statemen “orang suci” yang telah menghegemoni kesadaran intuisi umat manusia dengan <em>doktrin</em> yang menciutkan hati. Ironis sekali, <strong><span style="color: aqua;">sebuah kekeliruan fatal manusia karena ketidakpercayaan akan kemampuan intuisinya sendiri, hanya karena merasa rasio akal-budi adalah segalanya</span></strong>. Secara moral agama sikap tersebut juga menafikkan intuisi sebagai anugrah Tuhan pada diri manusia. Sebaliknya, siapaun yang tertarik mengembangkan intuisi harus meredam <em>arogansi ilmiah</em> termasuk arogansi <em>dogma</em>-<em>dogma,</em> lalu membuka diri pada hal-hal yang ada di luar rasio atau akal-budi kita. <span style="color: aqua;">Jika rasio anda meragukan daya kerja intuisi –bukanlah keputusan yang tepat– bisa jadi hal itu semata-mata karena akal-budi dan rasio belum terbiasa menerima serta menyaksikan sendiri kebenaran intuitif yang ada (being) di luar fikiran kita sebagai kebenaran esensial <em>noumena</em>. </span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Benar kalimat nenek-moyang bangsa kita, <strong><em>Nggawa latu adadamar</em></strong>.<span style="color: rgb(255, 102, 0);"> </span>Maka ada satu hal yang harus kita sadari sebagai <span style="color: rgb(255, 102, 0);">modal utama</span> untuk membuka kesadaran intuitif kita<span style="color: rgb(255, 102, 0);">. </span>Yakni,<span style="color: rgb(255, 102, 0);"> adanya <strong>kesadaran</strong> bahwa kecenderungan</span><span style="color: rgb(255, 153, 0);"> </span><span style="color: rgb(255, 102, 0);">rasio manusia yang sulit menerima sesuatu yang baru dan terlalu rumit untuk dicerna akal-budi, </span>sekalipun hal-hal bersifat empiris dan rasional bagi orang lain yang telah memahaminya.<span style="color: rgb(255, 102, 0);"> </span>Terlebih lagi hal-hal bersifat hakekat yang abstrak dan gaib. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman pribadi, dan informasi yang lengkap serta sarana pembanding lainnya, sebagai data komparatif yang akan diolah rasio.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;"> </span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Kesadaran Intuisi Sebagai Sumber Kebenaran</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Sekalipun gaib/abstrak, daya kerja intuisi dapat dibuktikan secara <em>logic</em> dan empiris. Hanya saja <strong>pembuktian terencana</strong> dan empiris lebih sulit dilakukan. <span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karena pada umumnya intuisi tidak terkelola dengan baik sehingga daya kerjanya hanya bersifat <strong>spontanitas</strong> saja</span>. Pembuktiannya juga lebih sering bersifat (seolah-olah) kejadian spontanitas sehingga dianggap kejadian yang “kebetulan” yang tidak ada korelasinya.<span> </span>Seorang <em>enterpreneur</em> sejati, seniman dan orang-orang sukses kadang menggunakan intuisinya untuk memilih mana orang yang tepat sebagai partner, mencermati peluang bisnis dan menciptakan kesempatan emas untuk membangun sebuah usaha. Disiplin ilmu menjadi sekedar alat untuk menggaris bawahi atau menguatkan kebenaran intuisinya di samping sebagai alat pembuktian secara obyektif. <strong><span style="color: aqua;">Intuisi adalah awal dari kesadaran kita sekaligus menjadi jurus untuk membuka jalan mana yang tepat dan benar untuk dipilih</span></strong><span style="color: aqua;">. </span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Berbagai tradisi intelektual memperkenalkan teknik mengolah intuisi yang bersifat <strong>kontemplatif</strong>. Dalam pandangan ini kesadaran berada pada tingkatan yang lebih rendah dari yang seharusnya bisa dicapai manusia. Untuk meningkatkan kesadarannya orang perlu melakukan praktek <em>meditasi</em> dan <em>yoga</em>. Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai jika orang melakukan praktek tersebut secara konsisten. Tak puas hanya dengan melakukan <strong>kontemplasi</strong>, terdapat pendekatan <em>Psikologi Perkembangan</em>. Pendekatan ini memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal tetapi sebagai dinamika yang terus berkembang di dalam proses. Setiap tahap di dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang substansial dan harus dianalisis menurut kekhususannya masing-masing. Pendekatan ini juga menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia berupa kemampuan <strong>supernatural</strong>. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi kognitif, afektif, moral, dan <strong>spiritual</strong> yang berada di level yang lebih tinggi. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">Contoh Bekerjanya Intuisi</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Intuisi adalah hal yang <em>sepele</em> namun tak bisa dianggap <em>sepele</em>. Karena melalui intuisi pula manusia mampu meraih kesuksesan. Dengan intuisi pula manusia kadang berhasil untuk mengungkapkan rahasia alam dan kehidupan. Betapa dahulu para ilmuwan diperingatkan jika metode berkembang biak makhluk hidup melalui <em>cloning</em> adalah sebuah ide atau gagasan <em>non-sense</em> dan kontroversial karena bertentangan dengan norma agama serta dianggap bertentangan dengan rumus/kodrat Tuhan (baca: kodrat alam). Namun demikian riset dan ujicoba tak pernah berhenti hingga <em>al hasil</em> benar-benar membuktikan bila makhluk hidup dapat berkembang biak melalui proses pembiakan/penggandaan unsur genetika <span> </span>milik sendiri. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 11pt;" lang="IN">Sekedar contoh proses diperolehnya kebenaran intuisi terdapat dalam beberapa contoh kasus berikut: </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 11pt;" lang="IN"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 10pt;" lang="IN">Pada tanggal 1 bulan Mei 2006, sewaktu duduk berbincang dan diskusi bersama kawan-kawan, istri tiba-tiba berteriak histeris sambil terkesima, secara tidak sengaja melihat seperti kelebatan gambaran (view) seolah melihat “layar tancap” yang berisi “film” kejadian guncangan gempa dahsyat sekali. Dalam kelebatan tersebut sekilas tampak papan penunjuk arah tertera tulisan Ke Jl. Parangtritis, Ke Bantul, Klaten, Yogyakarta. Sehari kemudian jam 18.00 bayangan itu muncul lagi, namun kali ini sekelebat tertera tanggal “27”. Dalam gambaran itu tampak seolah gempa terjadi waktu remang-remang, tidak jelas apakah pagi atau sore hari. Ternyata bayangan itu benar-benar terjadi tanggal 27 Mei 2009. <strong>Antara tanggal 1 mei hingga tanggal 26 Mei, status bayangan tersebut belumlah sebagai kebenaran intuisi</strong>. Namun ketika gempa benar-benar terjadi persis tanggal dan harinya, barulah bayangan itu menjadi kebenaran intuisi. </span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam alur demikian, intuisi diakui sebagai metode pencari kebenaran, sebab masih tetap membutuhkan verifikasi atau pembuktian sebagai alat pengujian kebenarannya. Namun berbeda dengan metode ilmiah lainnya karena dalam metode intuisi <strong>kita tidak dapat mendominasi pembuktian intuisi</strong>. Posisi kita sebagai obyek intuisi sangatlah<span> </span>determinan, hanya menunggu bukti itu terjadi dengan sendirinya. <span style="color: red;">Selain itu pembuktian empiris intuisi tidak bersifat instan, terkadang memakan waktu cukup panjang melibatkan beberapa generasi usia manusia, rentang waktunya bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun ke depan</span>. Artinya, intuisi menjadi kebenaran setelah menunggu puluhan hingga ratusan tahun yang akan datang. <span style="color: aqua;">Lamanya pebuktian menjadikan intuisi seolah hanya sebagai omong kosong belaka</span>.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 11pt;" lang="IN">Contoh lain misalnya; dalam situasi dan kondisi yang teramat darurat anda harus mengambil keputusan yang sangat fital. Tidak ada waktu berlama-lama berfikir, tiba-tiba hati anda tergerak, atau bahkan seolah mendengar “bisikan gaib”, dan hati terasa menemukan kemantaban memilih salah satu jalan keluarnya. Keputusan tersebut lebih cepat dibandingkan dengan proses berfikir anda sendiri. Setelah anda mengikuti suara hati dan “bisikan” tersebut, di kemudian hari anda benar-benar membuktikan sendiri sebagai keputusan yang paling tepat. Saya yakin, para pembaca yang budiman pernah mengalami kejadian serupa. </span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: 11pt;" lang="IN"> </span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 11pt; color: red;" lang="IN">Bekerjanya intuisi kita biasanya dimulai dari kasus-kasus sederhana</span><em><span style="font-size: 11pt;" lang="IN">. Sebagai contoh misalnya: anda tiba-tiba merasakan keinginan kuat dari dalam lubuk hati untuk menelpon teman anda yang lama tak ada kabar berita. Setelah anda menelpon ternyata teman anda sedang mengharapkan bantuan anda. Contoh lain misalnya anda tak tahu entah alasan apa namun merasa ingin sekali kembali ke rumah. Ternyata sampai di rumah anda mendapati seorang pencuri mencoba masuk ke rumah anda. Anda bebas mengartikan intuisi anda sebagai ilham, ataukah nurani, bisikan gaib, karomah, wangsit, laduni atau sasmita. Ilustrasi yang lain, misalnya anda sedang memikirkan seseorang, tiba-tiba orang yang bersangkutan menelpon atau mengunjungi anda. Jika anda mengelola intuisi bukanlah hal yang sulit untuk menggali potensi besar anda yang masih tersimpan. Tidak mengherankan bila suatu waktu anda dapat menyaksikan warna-warna metafisik berupa warna-warna aura seseorang hanya dengan mata wadag anda. Lebih dari itu anda dapat menjawab teka-teki (enigma), semakin mudah menyaksikan eksistensi gaib (noumena) di sekitar anda. </span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Semua masih dalam lingkup daya kerja instrumen jiwa yang bernama intuisi disebut pula <em>six-sense</em>. Alat detektor makhluk halus yang dulu dianggap mustahil diciptakan, akhir-akhir ini manusia-manusia di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman dan Amerika dengan pemberdayaan intuisinya berhasil memperoleh temuan baru (<em>discovery</em>) dengan ditemukan alat pendeteksi hantu atau roh. Di negara-negara maju dengan bimbingan intuisi satu misteri kehidupan telah berhasil diungkap bersama teknologi modern. <span style="color: aqua;">Bahkan apa yang dilakukan para sastrawan dan pujangga nusantara di masa lalu berhasil membuat prediksi-prediksi besar dan satu demi satu sudah terbukti merupakan metode yang jauh lebih canggih dari alat-alat dan metode ilmiah paling kontemporer sekalipun</span>. <strong>Hal itu menunjukkan kesadaran tinggi manusia (<em>higher consciuousness</em>) tidak sekedar spontanitas semata, namun semakin dapat dibuktikan secara ilmiah dan memenuhi syarat menjadi kenyataan obyektif yang diakui sebagai salah satu metode memperoleh kebenaran</strong>. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Pertanyaannya; Mungkinkah suatu saat ditemukan kamera canggih yang dapat mengambil gambar wujud roh ? Tidak tertutup kemungkinan ! Mungkin sudah menjadi kodrat/rumus Tuhan bahwa perkembangan kesadaran intuisi<span> </span>(batin) manusia berkembang lebih pesat jauh meninggalkan kesadaran akal-budi. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa <strong>intuisi bekerja secara misterius, <span> </span>kesadarannya dapat melampaui</strong> <strong>kecepatan kesadaran akal-budi</strong>. Pembuktiannya seringkali tidak bersifat instan. Sehingga kebenaran intuitif kadang sulit diterima akal-budi. Sekalipun menolak intuisi suatu waktu anda dipaksa juga harus mengakui intuisi anda sendiri setelah terjadi peristiwa spontan sebagai pembuktian tak terbantahkan. Lain halnya bagi siapa saja yang sudah terbiasa mengalami dan membuktikan kebenaran intuisi yang dulu berada di luar fikiran menjadi biasa dan tidak aneh lagi. Betapa intuisi mampu “memaksa” alam semesta untuk membuka segenap <strong><em>enigma</em></strong> sebagai <strong><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">noumena</span></em></strong>, kebenaran esensial yang terjadi di luar kesadaran rasio manusia. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Pemberdayaan Intuisi <em>a la</em> Timur</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Intuisi sering bersifat spontan disebut pula sebagai <em>given</em> (anugrah dari Tuhan) yang kedatangannya tak dapat kita jadwalkan. Meskipun demikian intuisi dapat dikelola agar dapat dikendalikan dan diatur kapan kita ingin memanfaatkan intuisi. Upaya ini berfungsi mengubah intuisi spontan menjadi kesadaran tetap.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Javanese Tradition</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Manusia memiliki kecenderungan <em>ontologis</em> untuk selalu berupaya mencapai kesempurnaan dengan mengetahui <em>kasunyatan</em> (kebenaran sejati). Salah satu upaya tidak saja bersifat rasional (akal-budi) dan empiris (pengalaman jasad) namun merambah dalam unsur <strong><span style="color: aqua;">rasa di luar jasad (<em>six-sense</em>)</span></strong>. Dengan mengasah intuisi atau<span> </span>pemberdayaan indera (<em>ke-enam</em>) sebagai <strong>indera perasa kita yang ada dalam <span style="color: rgb(255, 102, 0);">rasa sejati</span></strong> (bukan indera perasa jasad). Setiap orang memiliki <strong>rasa sejati</strong> sebagai <em>indera ke-enam</em> (six sense). Namun demikian <em>six sense</em> kita ibarat masih terbungkus kulit yang tebal. Untuk memberdayakan intuisi maka <em>indera ke-enam</em> terlebih dahulu harus dikupas “bungkus”nya yang bermakna nafsu negatif. Hampir senada, Dr. A Ciptoprawiro (dalam bukunya: <em>Filsafat Jawa; 1986</em>) mencoba menjelaskan intuisi dengan mengatakan kesadaran intuitif melibatkan instrumen dasar manusia berupa <strong>perasaan </strong>&<strong> pengetahuan</strong>. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Perlu saya tegaskan di sini dalam konteks <strong>perasaan pengetahuan</strong> tersebut harus dibedakan dengan <strong>perasaan panca indra</strong>. <span style="color: rgb(255, 102, 0);">Perasaan pengetahuan merupakan perasaan di luar panca indera jasadiah</span>. Dalam spiritualitas Jawa disebut sebagai <em>rahsa sejati</em> atau <em>rasa jati</em>. Untuk mempermudah penggambarannya dapat diperbandingkan dengan arti kata tela’ah, atau <em>berfikir dengan hati</em>. Yakni berfikir secara intutif, dalam terminologi Jawa dikenal sebagai makna dalam ungkapan <strong><em>menggalih</em> </strong>(analisa menggunakan rasa). Dalam suasana yang rumit atau saat menghadapi suatu persoalan berat, orang Jawa sering mengatakan, akan melakukan <em>ngenggar-enggar penggalih</em>. Sebagai sebuah cara yang akan meningkatkan kesadaran <em>aku</em> kepada kesadaran pribadi. <em>Kesadaran aku</em> atau kesadaran <em>rasa sejati</em> tidak bersifat <em>statis</em> tetapi dapat berubah dinamis apabila diri kita melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Tradisi Jawa mengenal tata cara dan menejemen intuisi yang dapat diumpamakan mengupas bungkus yang menutupi <em>indera ke-enam</em> kita. Yakni antara lain dengan cara <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">semedi, maladihening, mesu budi, tarak brata, tapa brata</span></em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">, </span>dan<span style="color: rgb(255, 102, 0);"> <em>laku prihatin</em></span>. “Bungkus” adalah kiasan untuk menggambarkan <strong>nafsu negatif</strong> atau keinginan jasadiah. Setelah nafsu negatif “dikupas” kemudian akan muncul sensitifitas <em>rahsa sejati</em>, yakni berupa <em>indera ke-enam</em> kita yang menjadi “<em>mata tombak</em>” mengungkap kebenaran melalui intuisi. Nenek-moyang bangsa kita telah menemukan dan memberdayakan intuisi ini sejak zaman animisme dan dinamisme 1500-100 SM jauh sebelum semua agama-agama “impor” masuk ke bumi nusantara. Tak bisa dipungkiri daya jangkau intuisi mampu mencapai ruang-ruang gaib dengan menyaksikan <em>noumena</em>, berbagai eksistensi metafisika nan mistis. <span style="color: aqua;">Justru dalam wahana ruang lingkup mistis inilah intuisi dapat berkembang dengan pesat</span>. Hingga sekarang metode intuisi telah mengalami kemajuan sangat pesat khususnya di dalam tradisi dan kebudayaan Jawa yang kental akan <span style="color: rgb(255, 102, 0);">mistisism</span>. Inilah sejatinya apa yang disebut para ahli spiritual Jawa sejak era sebelum Majapahit sebagai pemberdayaan <em>rahsa sejati</em> dengan cara: <em><span style="color: aqua;">nyidhem rahsaning karep, murih jumedule kareping rahsa</span></em>. Mengendalikan nafsu, agar intuisi menjadi tajam (<em>waskitha</em>). Betapa pentingnya mengendalikan nafsu sampai-sampai dalam segala lini kehidupan tradisi Jawa selalu disipkan <em>pepéling</em> (pengingat) termasuk dalam tradisi kesenian<span> </span>tembang terdapat gaya <em>pangkur</em>. <em>Pangkur</em> bermakna <em>nyimpang såkå piålå</em>, <em>mungkúr såkå nafsu</em> <em>dur angkårå</em>. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam tradisi Jawa keberhasilan mengolah intuisi dapat dilihat pada <em>kewaskitaan</em> para Pujangga kita yang mampu menjadi sastrawan, seniman dan futurolog masyhur seperti ; KGPAA Mangkunegoro IV, Raden Ngabehi Ranggawarsita, P Jayabaya, RM Sastra Nagara, Mbah Ageng (Ki Metaram) Juru Nujum Sri Sultan HB IX, KPH Cakraningrat dan masih banyak lagi. Di negara barat seperti Nostradamus, Jucelino Noberga da Luz dan Franciscoshabiz (Brazilia), John Naisbitt, Suku Bangsa Maya dll. Berbagai ajaran spiritual Jawa bertumpu pada kekuatan intuisi masing-masing individu. Individu dapat mengembangkan sendiri-sendiri semampunya. Sehingga pencapaian hasilnya berbeda-beda. Ahli spiritual Jawa tidak mengenal kasta atau derajat pangkat melainkan dapat dicapai siapapun yang “<em>gentur laku</em>” mulai dari <em>wong cilik</em>, rakyat biasa, petani, seniman, pandhita, usahawan, hingga bangsawan. Namun biasanya olah spiritual bangsawan masa lalu lebih terkelola secara rapi dan terorganisir. Hingga sekarang Kraton masih eksis berfungsi sebagai cagar budaya sekaligus menjadi <em>centrum</em> cagar spiritual hasil “<em>olah batin</em>” para leluhur bumi nusantara. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Pada saat ini ilmu yang tersimpan di dalam kraton telah dipublikasikan melalui berbagai gubahan, buku-buku kajian budaya dsb. Paling tidak terdapat suatu nilai ajaran yang penting diperhatikan yakni <span style="color: aqua;">prinsip dalam spiritual Jawa memandang bahwa perbedaan pemahaman spiritual menjadi hal yang sangat lazim dan ditoleransi</span>. Dalam tradisi Kejawen tidak dikenal kitab suci, nabi, habib, orang suci dsb karena adanya pemahaman bahwa masing-masing orang telah dibekali kemampuan intuitif sejak lahir sebagai <em>talenta</em> untuk menemukan <em>kebenaran sejati</em>. Lagi pula ajaran spiritual Jawa membahas masalah esensi atau hakekat yang berada dalam ruang universalitas nilai. Tidak diperlukan pelembagaan sebagaimana agama-agama di muka bumi. Karena pelembagaan akan beresiko fragmentasi, terkotak-kotak terbatas dalam ruang yang sempit. Konsekuensinya adalah luasnya ruang spiritual dalam wahana batin terjebak pada ruang fisik yang sempit dan penuh keberagaman jasad. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam tradisi spiritual Jawa dikenal istilah ilmu padi, semakin tua semakin berisi, dan semakin merunduk. Disebut juga <em>ngelmu tuwa</em>, yang berhasil meraihnya disebut “<em>uwong tuwa</em>” atau <em>sesepuh.</em> Yang tua bukan fisik atau usianya tetapi ilmunya atau <em>ngelmune tuwa</em> atau orang yang tinggi ilmunya. Maka sejatinya orang yang berilmu tinggi justru semakin rendah hati, berlagak seolah bodoh (<em>mbodoni</em>), namun tetap sopan dan santun berhati-hati dalam berbuat dan berucap. Jika berhadapan langsung pun<span> </span>kadang justru tampak bodoh tak bisa ditebak, misterius, tidak bisa disangka-sangka dan diduga-kira ketinggian falsafah hidupnya. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Bagi yang enggan atau tidak sempat mengolah intuisi bukan berarti gagal total, selama ia masih mau membuka diri dan selalu berpositif <em>thinking</em>. Hanya saja ia tidak dapat menyaksikan langsung kedahsyatan eksistensi <em>beyon side</em>, eksistensi yang ada di luar akal-budi kita (<strong><em>noumena</em></strong>)<strong><em>.</em></strong> Setiap orang sebenarnya mudah mengembangkan intuisi dalam diri.<span> </span>Asal mau membiasakan diri ; <em>memperhatikan, mencermati, dan merasakan getaran dalam hati paling dalam, yang tak bisa dipungkiri </em>atau <em>ditolak</em>. Intuisi mengirim getaran sinyal ke dalam hati pada detik-detik pertama, selanjutnya adalah imajinasi yang akan mendominasi akal budi kita. Imajinasi tidak bisa dipercaya karena memuat segala angan dan khayalan keinginan jasad (rahsaning karep). Sedangkan getaran intuisi dalam hati disebut pula sebagai <em>hati</em> <em>nurani</em> (kareping rahsa). </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Jika diurutkan cara bekerjanya intuisi adalah sebagai berikut : </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em><span style="font-size: 10pt; color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN">rahsa sejati</span></em></strong><span style="font-size: 10pt;" lang="IN"> (kareping rahsa) — <strong><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sukma sejati</span></em></strong> (guru sejati) — <strong><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">getaran hati</span></em><span style="color: rgb(255, 102, 0);"> </span>(nurani) – <span style="color: rgb(255, 102, 0);">intuisi</span> — <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">respon otak</span></em> (imajinasi)</strong></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Bandingkan dengan kronologi nafsu berikut ini :</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em><span style="font-size: 10pt; color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN">obyek yang menyenangkan</span></em></strong><span style="font-size: 10pt;" lang="IN"> –- <strong><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">panca indera</span></em></strong> –- <strong><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">hati</span></em></strong> -– <strong><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">respon otak</span></em><span style="color: rgb(255, 102, 0);"> </span></strong>(imajinasi atau perencanaan pemenuhan hasrat/keinginan jasad)</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Kesadaran</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam ilmu Jawa dikenal beberapa tingkatan kesadaran manusia. Diurutkan dari bawah yakni; (1) Jasad, (2) akal-budi, (3) nafsu, (4) roh, (5) rasa (indera <em>ke-enam</em>), (6) cahya, (7) atma. Intuisi setara dengan kesadaran urutan ke lima. Dilihat dari tingkat kesadaran ini manusia dibedakan ke dalam dua kelompok: yakni <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">orang pilihan</span></em>, dan <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">orang awam</span></em>. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Orang Awam (kesadaran lahiriah)</span></span></em></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Untuk menunjuk tingkat kesadaran seseorang yang mencapai taraf <em>kesadaran jasad, akal-budi, dan nafsu</em>. Dalam tataran ini seseorang masih dapat memahami nilai sopan santun, kearifan, dan <em>kawicaksanan</em>. Namun seseorang belum sampai pada menyaksikan langsung (<em>nawung kridha</em>) atau <em>wahdatul wujud</em>, sebaliknya pengetahuannya hanya berdasarkan ajaran yang tertulis (teksbook, referensi) dan dari mulut ke mulut, <em>kulak jare adol jare</em>, <em>ceunah ceuk ceunah</em>, serta yang tak tertulis namun masih dapat disaksikan melalui panca indera jasad, misalnya berbagai macam fenomena atau gejala alam. Kesadaran yang melibatkan unsur <em>cipta</em>, <em>rasa</em>, <em>karsa.</em> Namun ketiganya bukanlah pengalaman batin sendiri.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Orang Pilihan (kesadaran batiniah)</span></span></em></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Untuk memilah seseorang yang telah mencapai kesadaran batin yang meliputi kesadaran jiwa atau kesadaran roh, kesadaran rasa sejati, kesadaran cahya, dan kesadaran atma. Tataran kesadaran ini dalam terminologi Jawa lazim disebut <em><span style="color: aqua;">Nawung Kridha</span></em> atau orang yang berbudi-pekerti luhur, lazim pula disebut orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi. <strong>Semakin tinggi spiritualitas seseorang berarti</strong> <strong>tingkat kesadarannya semakin tinggi pula</strong>.<span> </span>Disebut juga sebagai <em>satu mungging rimbagan</em>, yakni orang yang telah mencapai kesadaran spiritual dengan ditandai pencapaian tataran <em>curiga manjing warangka</em>, atau dwi tunggal (<em>loroning atunggil</em>), <em>pamoring kawula Gusti</em>, atau <em>manunggaling kawula Gusti</em>. Dalam agama Budda kurang lebih sepadan dengan orang yang menggapai hakikat <em>Nirvana</em>, sedangkan dalam terminologi Latin sebagai <strong><em>Imago Dei</em></strong>, sementara istilah mistis Arab disebut <em>sajjaratul makrifat</em> yakni orang-orang yang <strong><em>wahdatul wujud</em></strong>. Kesadaran seseorang pada tataran ini dalam memahami hakekat “setan”, surga, dan neraka tidak sama pada umumnya <em>Orang Biasa</em>. Bagi <strong><em>orang pilihan</em></strong> ia akan berani <em>mati sajroning ngaurip</em> (mati di dalam hidup). Artinya nafsu keduniawian atau nafsu jasadiah (<em>rahsaning karep</em>) dimatikan, sedangkan yang hidup adalah rasa sejati (<em>kareping rahsa</em>). <span style="color: aqua;">Kegiatan ini umpama mengolah lahan gersang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya <em>six-sense</em> kita. </span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;"> </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Beberapa Tipe Orang Pilihan</span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">KRT. Ronggo Warsito dalam karyanya suluk <em>Pamoring Kawula Gusti</em>, berkaitan dengan tingkat kesadaran ini, memilah manusia menjadi tiga tipe yakni :</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN">1.Tipe Etis</span> ; </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">yakni kemanunggalan antara kawula dengan Gusti, hasilnya adalah <em>waskita</em> dan <em>susila anor raga</em>. <em>Orang pilihan</em> tipe etis telah mampu megharmonisasi antara batin dengan perbuatannya. Kemanunggalan manusia setelah melebur ke dalam Zat Tuhan ini digambarkan dalam cerita wayang dengan lakon <em>Wisnu Murti</em>, yakni Prabu Kresna masuk ke dalam tubuh Dewa Wisnu. Atau sebaliknya, Zat Tuhan yang melebur di dalam manusia digambarkan dalam lakon wayang <em>Bimasuci</em>, tatkala Dewaruci merasuk ke dalam tubuh Sena. Penggambaran akan manusia yang menguasai <strong><span style="color: aqua;">kesadaran triloka</span></strong> yakni alam gaib, kesadaran alam batin, dan alam wadag. Istilah yang digunakan dalam mistis Islam disebut <em>rijalul gaib</em>. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN">2.Tipe Kosmologis</span> ; </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">yakni olah lahir dan olah batin seseorang melebur dalam kosmos universal dan mengeliminasi egoisme atau individualitas. Orang pilihan tipe kosmos mencapai <em>high consciuousness</em> dengan cara <strong>membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil</strong>. Tindakan pembebasan dari belenggu alam empiris materiil menuju pada eksistensi transenden. Dalam keadaan ini kesadaran seseorang meningkat<span> </span>dari kesadaran diri materiil, menjadi kesatuan mutlak sebagai bentuk <em>kesadaran rahsa sejati</em>, yakni pemahaman akan <em>kebenaran sejati</em> pada kehidupan ini. <strong><span style="color: aqua;">Batin kita akan menjadi <em>batin patipurna</em>; batin yang bebas dari polusi, halusinasi, dan imajinasi jasad (akal-budi) semata</span></strong>. Maka secara emanatif manusia digambarkan akan kembali ke asal muasalnya yakni ke dalam hakekat <em>cahya sejati</em> nan suci. Inilah nilai tradisi Kejawen dalam wahana dimensi vertikal dengan yang transenden yakni; <em>sangkan paraning dumadi</em>. Asal dan tujuan manusia adalah Zat Mahamulya (adi kodrati/ajali abadi). Dalam spiritual Jawa dikenal <em>alam kelanggengan</em> nan suci, atau alam kasampurnan sejati yakni tempat berkumpulnya/kembalinya arwah para leluhur yang berhasil mensucikan diri semasa hidup di dunia. Dengan berbekal kesuksesan mensucikan diri akan menjadi modal utama yang menempatkan roh berada dalam wahana cahya sejati (disebut pula nurulah). Asal roh adalah hakekat cahya yang suci maka roh harus kembali dalam kondisi cahya suci pula. Inikah yang sebenarnya sebagai hakekat “malaikat” ? silahkan anda telaah sendiri.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN">3. Tipe Teologis </span>;</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Tipe ini banyak kemiripan dengan tipe kosmologis hanya saja terdapat perbedaan mendasar dengan adanya istilah-istilah yang berasal dari kitab suci atau ajaran nabi. Pada tipe kosmologis terbuka untuk diperdebatkan secara <em>rasional locic</em> sebagaimana tradisi Kejawen. Sedangkan tipe teologis sangat tertutup bagai monumen sejarah. Sikap kritis sering dianggap menentang, melecehkan dan sesat. Terkesan tipe teologis hanya membutuhkan keyakinan saja. Dari <em>rasa yakin</em> lalu menjadi <em>percaya</em>. Penilaian terhadap kesadaran intuitif manusia, kadang diasumsikan sangat berbahaya mudah tergelincir oleh “bisikan setan”. Resikonya agama akan mengalami stagnansi bagai monumen sejarah yang <em>untouchable</em> makin lama kian lapuk dan ditinggalkan manusia <em>ultramodern</em>. Tradisi ilmiah beberapa filsuf, sejarawan, antropologi, sosiologi, arkeologi, memandang agama sebagai tipe kesadaran kosmologis manusia masa lampau, yang telah dilembagakan sebagai sistem religi masyarakat tertentu. Dan sistem religi ini dalam <em>perspektif psikologi sosial</em> merupakan bentuk kesadaran <em>relative obyektif</em> sesuai dengan sistem sosial budaya masyarakat<span> </span>di mana suatu agama dahulu dilembagakan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Ngelmu Kasampurnan</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Ujung dari proses perkembangan kesadaran manusia adalah diraihnya kesempurnaan hidup (<strong><em>ngelmu kasampurnan</em></strong>), atau ilmu kesempurnaan, <em>wikan sangkan paran</em>. Filsafat hidup yang termuat di dalam <em>Ngelmu kasampurnan</em> adalah gambaran <strong>kesadaran tertinggi</strong> manusia (<em>highest consciuousness</em>). Maka dalam istilah Jawa <em>ilmu kasampurnan</em> disebut pula <em>ilmu kasunyatan</em>, <em>ilmu tuwa</em>, <em>ilmu sangkan paran</em>. Hampir sepadan dalam tradisi mistis Islam disebut makrifat. Idiom Jawa memiliki banyak istilah untuk menggambarkan manusia yang berhasil menggapai ilmu kasampurnan, yakni; <em>jalma limpat seprapat tamat, jalma sulaksana waskitha (weruh) sadurunge winarah</em>. Artinya seseorang yang memahami kebijaksanaan hidup dan memiliki kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu serta di luar kemampuan akal-budi (<em>kawaskithan</em>). Pedoman hidup atau kebijaksanaan yang dihayati adalah ; <em>wikan sangkan paran</em>, <em>mulih mulanira</em>, dan <em>manunggal</em>. Memahami asal muasal manusia, kembali kepada Hyang Mahamulya, dan manunggal ke dalam kesucian Zat. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Pencapaian kesempurnaan hidup dalam <strong><em>serat Wedhatama</em></strong> disebut sebagai<span> </span><em>pamoring suksma</em>, <em>roroning atunggil</em>. Menurut <em>serat Wedhatama</em> karya <strong>KGPAA Mangkunegoro IV</strong>, <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ilmu kasampurnan</span></em> disebut pula sebagai <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ngelmu nyata</span></em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">, <em>ngelmu luhung</em></span> atau <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">akekat</span></em>. Cara pencapaian kesadaran tingkat tinggi ini, di capai melalui empat tahapan <em>sembah</em>, atau <strong>catur sembah</strong>; yakni <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/sukma</span></em>, dan <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sembah rasa</span></em>, dan meraih <em>rahsa sejati</em> (lihat thread; Serat Wedhatama). <em>Wedha</em> adalah petunjuk atau <em>laku</em>/langkah, <em>Tama</em> adalah utama atau luhur/mulia, yakni ilmu tentang perilaku utama atau budi pekerti yang luhur. Dalam serat Wedhatama mencakup ajaran perilaku ragawi yang kasad mata (<em>solah tingkah</em>), perilaku hati, dan perilaku batin (<em>bawa/perbawa</em>) yang meliputi jiwa dan rahsa. Dalam rangka menggapai kesempurnaan hidup <span> </span>hendaknya ke-empat perilaku tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga secara garis besar terbagi menjadi dua bentuk kesatuan perilaku lahir dan batin. Keduanya harus dibangun dalam wujud korelasi yang harmonisasi, sinergis antara perbuatan lahir atau <strong><em>solah</em></strong>, dan perbuatan batin atau <strong><em>båwå</em></strong>. Wujud <em>solah</em> akan merefleksikan keadaan <em>båwå</em> dalam batin, namun kesadaran <em>båwå</em> juga termanifestasikan ke dalam wujud <em>solah</em>. Apabila tidak terjadi sinkronisasi antara <em>solah</em> dan <em>båwå</em>, yang terjadi adalah sikap inkonsisten, kebohongan, <em>mencla-mencle</em> atau plin-plan. Dalam ranah agama disebut sebagai sikap munafik. Sebaliknya indikator manusia yang telah memperoleh kesadaran tinggi (spiritual)<span> </span>dalam lingkup <em>ngelmu kasampurnan</em> dapat dicermati tingkat pemahamannya yang termanifestasikan dalam beberapa <strong>barometer</strong> berikut ini ;</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">1. Madu Båså</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Meliputi adab, sopan-santun, tata cara, kebiasaan mengolah tutur kata dalam pergaulan. Madu adalah manis, bukan berarti konotasi negatif seseorang yang gemar bermulut manis. Namun maksudnya adalah seseorang yang mampu membawa diri, mawas diri atau <em>mulat sarira</em>. Kata-kata yang tidak menyakitkan hati orang lain. Ucapan yang menentramkan hati dan fikiran. Tutur kata yang bijaksana, bermutu atau berkualitas, dan selalu menyesuaikan pada keadaan dan lawan bicara. Maka dikatakan <em>ajining diri kerana lathi</em>. Kehormatan atau harga diri seseorang tergantung pada apa yang ada dalam ucapannya. Dalam pribahasa Indonesia terdapat tamsil berupa peringatan agar mewaspadai mulut kita, “mulutmu harimau mu”. Madu Basa adalah seseorang yang pandai mengolah kata sehingga dalam menyampaikan kritikan, penilaian, protes dan nasehat mampu menggunakan bahasa yang simple, mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang lain dan mudah diterima oleh orang yang dituju. Itulah <strong>bahasa akan menjadi “madu”</strong> <strong>tergantung pada kemampuan kita memadu bahasa</strong>. Ibaratnya ikan dapat ditangkap dan airnya tidak menjadi keruh.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">2. Madu Råså</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Meliputi <em>empan papan, tepa selira, unggah ungguh, iguh tangguh, tuju panuju, welas asih, kala mangsa, duga prayoga</em>. Madu rasa adalah bentuk kesadaran tinggi atau kesadaran batin (SQ). Termanifestasikan dalam rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama, tanpa membedakan suku, agama, warna kulit, golongan, pandai-bodoh, kaya miskin, drajat pangkat. Sebuah kesadaran batin yang mampu memahami bahwa derajat manusia adalah sama di hadapan Sang Pencipta. Perbedaan kemuliaan hidup seseorang ditentukan tingkat kesadaran lahiriah dan batiniahnya, serta ditentukan oleh perilaku dan perbuatannya apakah bermanfaat atau tidak untuk sesama. Seseorang yang menghayati <em>madu rasa</em>, mampu <em>ngemong</em> (mengendalikan) gejolak nafsu diri sendiri, maupun <em>ngemong</em> gejolak nafsu orang lain. Keadaan mental seseorang <em>madu rasa</em>, memiliki kematangan, tangguh, ulet dan tekun, bertekad kuat, gigih dan tidak mudah putus asa, segala sesuatu terencana secara matang, memperhitungan segala resiko. Cermat, cakap, tanggap, empatik dan peduli lingkungan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">3. Madu Bråtå</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><em><span style="color: rgb(255, 102, 0);" lang="IN">Pertama</span></em>, meliputi sikap <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">eling</span></em> dan <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">waspadha</span></em>, <em>eling</em> terhadap <em>sangkan paraning dumadi</em>, dan <em>waspadha</em> terhadap segala hal yang menjadi penghambat upaya mencapai <em>nglemu kasampurnan</em>. <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Kedua</span></em>, <em>madu brata</em> diistilahkan pula keberhasilan sikap sebagai <em>nawung kridha</em>. Untuk menyebut seseorang yang dapat <span style="color: aqua;">menyaksikan sendiri</span> bahwa dalam menempuh kemuliaan hidupnya diperlukan <strong>kesadaran</strong> lalu memahami akan karakter, sifat-sifat, tabiat alam, gejala dan tanda-tanda kebesaran Hyang Maha Mulya yang sangat beragam. <em>Madu brata</em>, “madu”nya perilaku dalam menjalani kehidupan ini. Terletak pada kesadaran bahwa manusia sebagai <em>jagad kecil</em>, dan alam semesta sebagai <em>jagad besar</em> memiliki hubungan yang harmonis dan sinergis. Namun demikian manusia lah yang harus pandai beradaptasi dan sensitif dalam merespon gejala alam. <em>Madu bråtå</em> sepadan dengan sikap <em>hamemayu hayuning bawånå</em>. <em><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Ketiga</span></em>, <em>pangastuti</em> dan <em>rasa sejati</em> yang dimilikinya dapat di<em>manage</em> dengan baik, bukan lagi menjadi alam bawah sadar namun telah berhasil membangkitkan kesadaran mutlak yang mampu meredam watak <em>sura dira jayaningrat</em> melebur dalam <em>pangastuti</em>. Seseorang memiliki daya batin yang <em>jinurung ing gaib</em>, yakni sejalan dengan rumus Tuhan yang terangkum dalam <em>hukum alam</em>, atau <em>kodrat alam lahir </em>maupun <em>alam batin</em> sebagai “bahasa” dari kodrat Ilahiah. Maka <em>Idune idu geni</em> (ludahnya ludah api), kehendaknya adalah kehendak Tuhan, sehingga apa yang diucap terwujud (<em>sabda pendhita ratu</em>). </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Senada dengan <em>serat Wedhatama</em>, dapat dilihat dalam <strong><em>Filsafat Widyatama</em></strong><em>,</em> terdapat dalam suluk <em>Sukma Lelana</em>, karya KRT Ronggo Warsito. Di dalamnya terdapat ajaran tentang Widyatama atau ajaran tentang <em>lakutama</em>, yakni perilaku utama, atau budi pekerti yang luhur. Dikemas dalam bentuk seni sastra dan budaya lainnya yang mengandung nilai filsafat kehidupan <em>adiluhung, </em>dalam rangka meraih kearifan dan kebijaksanaan hidup (<em>ngudi</em> <em>kawicaksanan</em>), serta mengupayakan kesempurnaan hidup (<em>ngudi</em> <em>kasampurnan</em>). Di dalamnya diungkapkan beberapa tataran kesadaran manusia, yakni kesadaran jasad, kesadaran batin dan tentang kesempurnaan (<em>kasampurnan</em>). Orang<strong> </strong>yang <em>ngudi kawicaksanan</em> dan <em>kawaskitan</em> disebut sebagai seorang <strong><em>jalma</em></strong> <strong><em>sulaksana</em></strong>. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Kemampuan Hewan dengan Manusia</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Mengulas tulisan dari awal hingga akhir tampak perbedaan tingkat kesadaran yang amat jauh antara naluri dengan intuisi. Dalam dunia hewan naluri sebagai alat utama yang mampu menjaganya tetap berada pada jalur kodrat alam atau kodrat Sang Pencipta jagad raya. Sedangkan manusia yang hanya berbekal kemampuan akal yang tinggi akan lebih sulit menempatkan diri pada jalur hukum alam atau kodrat Tuhan. Hal ini sekilas tampak paradoksal namun kenyataannya demikian adanya. Karena di satu sisi akal manusia keberadaannya di dalam bungkusan nafsu. Resikonya adalah penguasaan nafsu atas jiwa (lihat thread; <em>Mengenal Jati Diri; Hakekat Neng ning nung nang</em>). Di sisi lain otak manusia dapat berubah menjadi sumber imajinasi yang keliru, resikonya berupa salah tafsir, salah sangka, salah duga, salah kira. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Jalan satu-satunya menyelamatkan diri adalah peningkatan akan kesadaran, sehingga mudah memilah mana kebenaran sejati mana kepalsuan. Jika manusia tidak memiliki tingkat kesadaran yang layak manusia beresiko tinggi mendapat malapetaka kehidupan karena secara sadar atau tidak dapat terjebak nafsu ragawi dan imajinasi akal yang palsu. Akal sering dibangga-banggakan manusia karena diyakini mampu mengangkat derajat kemanusiaannya. Terlebih lagi manusia mengklaim diri dengan dimilikinya akal menjadikannya sebagai makhluk paling sempurna. Tapi jangan gegabah, <span style="color: aqua;">akal bagaikan pisau bermata dua. Mata yang satunya dapat memuliakan manusia, mata yang satu lagi sebaliknya dapat menyebabkan sebuah malapetaka besar manusia menjadi makhluk paling hina di dunia.</span> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam konteks demikian tentunya hewan lebih merdeka dibanding manusia, karena hewan terbebas dari segala tanggung jawab atas kemampuannya. Sebaliknya manusia terbebani untuk memper-tanggung-jawabkan atas segala kemampuan, kelebihan dan kesadaran yang dimilikinya. Hewan tidak punya pilihan sedangkan manusia memiliki berjuta pilihan. Salah memilih resikonya adalah malapetaka di dunia maupun setelah ajal tiba. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: small;">Tidak ada orang pandai yang tidak pernah salah,</span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: small;">Tidak ada orang bodoh yang tidak pernah benar.</span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: small;"> </span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: small;">Satu kebenaran intuitif seseorang </span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: small;">bagaikan satu bintang di antara trilyunan bintang</span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: small;">Sedangkan kemampuan manusia mengungkap kebenaran intuitif </span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: small;">Tidak sebanyak jumlah manusia di bumi</span></em></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><em><span style="font-size: small;">Apalagi sebanyak bintang di langit</span></em></span></p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-72098462106594957022010-09-19T05:15:00.000-07:002010-09-19T05:18:59.473-07:00Rahasia merubah kodrat<h2 style="font-family: verdana;" class="post-title"><span style="font-size:100%;">Kunci Merubah “Kodrat”</span></h2> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: lime;" lang="IN"><span style="font-size: small;">“KASIH SAYANG DAN KETULUSAN”</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: verdana;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: lime;" lang="IN"><span style="font-size: small;">KUNCI MENDAPATKAN WIRADAT</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Sekelumit kisah yang ingin saya <em>share</em> kepada semua rekan-rekan ku di sini. Tujuannya ujub, sombong, dan takabur ? <span style="color: red;">TIDAK</span> samasekali ! Semata-mata pengalaman ini saya tulis sebagai wujud rasa syukur saya kepada Tuhan YME, di mana kami bersama istri diberi kesempatan emas untuk menyaksikan dan mengalami langsung betapa Tuhan itu benar-benar Maha Welas Asih, Maha Penyayang dan Mahakuasa. Saya juga berharap, mudah-mudahan kisah ini bisa menggugah semangat bagi siapapun yang sedang mengalami penderitaan, dan “nompo ganjaran” sakit berat dari Gusti Allah. Semangat hidup dan semangat untuk sembuh harus tetap ditumbuhkan dari dalam diri, karena dengan bekal semangat itulah menjadi obat paling mujarab, sedangkan obat-obat medis dan alternatif sebatas mensupport kesembuhan. Dengan semangat itu pula, mukjizat Tuhan dapat kita raih. Mukjizat Tuhan hanya untuk orang-orang yang percaya saja. Selain dari itu, saya mendapatkan pelajaran berharga sekaligus membuktikan apa yang pernah diucapkan oleh leluhur saya sewaktu masih hidup, beliau mengatakan bahwa <strong>“<em>kodrat kuwi isih bisa disuwunake wiradat ngger…carane krana welas asih lan sakbener-benere tulusing ati !</em>”</strong> artinya “kodrat itu masih bisa dimohonkan untuk wiradat, caranya dengan sarana kasih sayang dan ketulusan hati !”<span> </span>Dalam konteks ini leluhur saya yang <em>culun</em> dan <em>ndeso</em>, memahami kodrat dengan maksud<span> </span>menunjuk ketentuan Tuhan yang telah berlangsung, dan wiradat diartikan sebagai <strong>dispensasi</strong> atau bahkan Tuhan berkenan <strong>mengubah</strong> apa yang telah menjadi kodrat tadi. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Bertahun-tahun lamanya saya berusaha mencerna nasehat itu, namun terasa bebal otak saya untuk menelaahnya, karena bagi saya sangat sulit untuk memahami kalimat yang terlalu sederhana di atas. Memang kalimatnya terpampang <em>seculun</em> itu namun menyisakan pertanyaan mendasar di benak ini, <span style="color: aqua;">“<em>lantas kasih sayang yang seperti apa yang mampu menjadi sarat agar mendapatkan wiradat dari Tuhan Yang Mahakuasa ?</em>” <em>Nah, kalau kodrat itu bisa dirubah jangan-jangan kodrat tersebut hanyalah kehendak yang belum tuntas jalan ceritanya ?</em></span> Entahlah, terus terang saya makin mumet dibuatnya. Dan saya tidak akan membahas sistem bekerjanya kodrat Tuhan karena hal itu sama halnya memahami “jalan pikir” Tuhan. Jika membayangkan “jalan fikir” Tuhan terus terang ciut nyaliku, karena sama halnya<span> </span>memberhalakan Tuhan, menganggap Tuhan bagaikan manusia saja yang musti menggunakan jalan fikir. Makin jauh dan <em>mbulet</em> lah !</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Diagnosa Yang Mengejutkan</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Peristiwa ini terjadi belum lama kira-kira<span> </span>sejak 1 tahun yll. Saat kami dikejutkan oleh hasil diagnosa dokter yang sedang melakukan USG pada kandungan istri saya. Waktu itu saya antar isteri ke dokter RS Pantirapih Jogja untuk melakukan cek up routin setahun sekali. Cek up jantung, paru-paru, hati, pankreas, liver. Semua hasilnya baik, <em>matur sembah nuwun duh Gusti…!</em><span> </span>Lantas saya minta dokter memeriksa bagian organ ginjal, dokter mulai mengarahkan ujung sensor USG ke bagian ginjal. Lalu dokter bilang,” <em>ginjal kiri dan kanan semuanya baik …tak ada masalah</em> <em>!</em> <em>Loh..</em>?? Saya seketika meminta pak dokter mengulangi diagnosa ginjal,” <em>coba dokter, saya minta diulangi lagi, saya ingin melihat mana dan seperti apa ginjal sebelah kiri, dan yang sebelah kanan !?</em> Dokter menuruti kembali mengarahkan alatnya untuk mengecek ginjal kanan, ya terlihat jelas dan bagus ! Sebentar kemudian istri saya meminta dokter segera mengecek ginjal kirinya sembari layar USG diarahkan lebih jelas ke hadapan istri saya yang saking penasarannya. Istri saya terperanjat, “<em>dokter…itu benar ginjal kiri saya ?</em> Dokter menyahut, “<em>ya benar, memang kenapa bu…?</em> Saya dan istri hanya diam namun saling bertatapan mata beribu makna karena terkesima. Saya menyahut, “<em>nggak apa-apa kok dok…makasih dok !</em> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Satu Ginjal, Menjadi Utuh Kembali</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Sepulang dari USG, saya dan istri masih tercengang atas apa yang tampak oleh hasil diagnosa USG tadi. <em>Ginjal kiri kanan utuh ??!!</em> Mungkin bagi orang yang tak pernah menghibahkan satu ginjalnya ke orang lain, bukanlah hal yang mengejutkan. Namun karena istri saya 20 tahun yll pernah menghibahkan ginjal sebelah kirinya kepada Ibu angkatnya. Awal dari kisah ini, pada waktu istri saya duduk di bangku SLTA, diangkat anak oleh keluarga petinggi AD di Jakarta. Beberapa tahun setelah diangkat anak, Ibu angkat istri saya mengalami gagal ginjal kedua-duanya (kiri-kanan). Waktu itu satu persatu anak-anak kandung diperiksa ginjalnya apakah cocok dan memenuhi syarat medikal untuk ditransplantasi ke Ibu kandungnya. Aneh, tak satupun yang cocok dan memenuhi sarat medis. Sebaliknya hanya ginjal milik anak angkatnya saja yang cocok dan memenuhi sarat medis, alias ginjal milik (calon) istri saya.<span> </span>Transplantasi dilaksanakan di RSAD Gatot Subroto Jakarta, sejak itu sekian puluh tahun istri saya hidup dengan satu ginjal saja. Efeknya hanyalah agak cepat merasa lelah. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Waktu itu Ibu angkatnya (calon) isteri saya sudah berumur sekitar 60 tahun sewaktu ginjalnya ditransplantasi. Pada usia sekitar 75 tahun Ibu angkat meninggal dunia dengan tenang dan sakit karena tua. Berarti ginjal istri saya dipakai selama kira-kira 15 tahun lamanya. Lalu, pada suatu siang hari (calon) istri saya yang waktu itu sudah tinggal lagi di Jogja, tiba-tiba dipanggil Ibu angkat yang sedang opname di RSAD Jakarta. Sesampainya di Jakarta langsung menuju RS membesuk Ibu angkat. Lantas beliau berkata pada (calon) istri saya,” <em>Hyas…aku matur nuwun banget yo wis mbok silihi ginjelmu seprana-seprene, saiki aku wis ora butuh meneh….nyoh tampanen ginjelmu saiki tak balekke nyang nggonmu yo</em>. (Hyas, aku berterimakasih sekali ya, sudah kamu pinjemi ginjalmu selama ini, sekarang aku sudah tidak perlu lagi, nih..terimalah ginjalmu sekarang aku kembalikan padamu ! Ibu angkat berucap demikian dengan penuh ketulusan berterimakasih, sembari tangannya seolah-olah memungut ginjalnya di perutnya sendiri lalu ditempelkan ke perut (calon) istriku. Malamnya Ibu angkat meninggal dunia dengan tenang, pulang ke haribaan Tuhan YME.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Pada Tahun 2005 akhir, saya pernah bermimpi namun sulit membedakan apakah tadi itu mimpi atau memang dalam keadaan setengah sadar saya melihat ada seorang berpakaian layaknya Raja, diiringi beberapa orang berpakaian Jawa kuno membawa semacam <em>bokor kencana</em> (cupu besar terbuat dari emas). Setelah dibuka, bokor kencana tersebut berisi ginjal dan dengan sekejap kurang dari 5 detik, rombongan tadi seperti “memasang” ginjal yang dibawanya ke dalam perut istri saya. Sewaktu saya sadar betul, dalam posisi sedang terduduk di atas <em>amben</em>, samping istri saya yang sedang tertidur seperti orang dibius. Saya bangunkan istri dan saya tanya apa yang dirasakan, katanya tidak merasakan apa-apa. Saya menceritakan apa yang barusaja terjadi di alam mimpi entah <em>noumena</em> gaib kali ini saya tak bisa membedakannya. Setelah kejadian itu, kami tak pernah membahas lagi, namun istri saya merasakan badannya tidak seperti dulu karena terasa lebih fit dan tak mudah lelah. Barulah pada awal 2008 ketika kami pergi ke dokter melakukan cek up routin, semua misteri itu terkuak. Sampai-sampai kami berdua ragu atas hasil diagnosa dokter, hingga akhirnya kami berkunjung ke tempat saudara yang buka RS di Majenang, untuk bersilaturahmi dan sekalian melakukan USG lagi. Hasilnya sama, ginjal istri saya benar-benar telah pulih, kembali menjadi dua lagi setelah sekian puluh tahun dihibahkan<span> </span>kepada Ibu angkatnya.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="color: rgb(153, 204, 0);" lang="IN"><span style="font-size: small;">Mukjizat Menakjubkan</span></span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dari kisah di atas ada suatu pelajaran berharga untuk hidup kami berdua khususnya,<span> </span>bahwa segala sesuatu yang mustahil hanyalah karena keterbatasan kekuasaan manusia semata, sementara itu tak ada yang mustahil bagi Hyang Mahawisesa, Tuhan Yang Mahakuasa. Apapun bisa terjadi. Selain itu, segenap pertanyaan yang ada dalam benak selama ini terjawab sudah. Benar apa yang dinasehatkan oleh leluhur waktu itu, bahwa <strong><span style="color: aqua;">kodrat dapat diwiradat melalui kasih sayang dan ketulusan yang luar biasa</span></strong>. Tanpa ada contoh atau pengalaman hidup yang dapat dijadikan sebagai indikator mengukur ketulusan dan kasih sayang yang seperti apa sehingga dapat menjadi syarat terjadinya <em>wiradat</em>, tampaknya saya tak akan mampu memahami kalimat tersebut. <span style="color: aqua;">Di satu sisi Ibu angkat istri saya telah mencurahkan kasih sayang yang tulus pada istri saya selayaknya anak kandung sendiri.</span> <span style="color: aqua;">Sementara itu istri saya memberikan ginjalnya kepada ibu angkatnya dengan penuh ketulusan dan keikhlasan pula tanpa berharap imbalan apapun.</span> Masing-masing melakukannya secara tulus dan penuh kasih. Bahkan saat dibagikan warisan berupa sebidang tanah dan bangunan di Cipayung Bogor, istri saya tetap menolak, alasannya justru karena pernah memberikan sesuatu yang sangat berharga pada Ibu angkatnya. Takut bila akan mencemari atau menggugurkan ketulusan yang pernah ia berikan pada sang Ibu (angkat).<span> </span>Dan selama puluhan tahun hanya dengan satu ginjal harus bekerja berat agar dapat menanggung banyak kehidupan. Selama itu tak pernah ia mengeluh dan merasa menyesal, bahkan pada suatu waktu saat kena marah ibu angkat, tak pernah pula istri saya mengungkit-ungkit jasa baiknya. Yah, saya banyak belajar tentang budi pekerti yang luhur (<em>akhlakul karim</em>), ketulusan, keikhlasan, dan ketabahan yang ada pada istri saya tercinta.<span> </span>Dan saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa kekuasaan Tuhan sungguh sangat dekat dengan diri manusia. Tuhan…Gusti Allah, Gusti kang Akaryo Jagad, <span style="color: aqua;">jauh tidak ada jarak, dekat tak bersentuhan</span>. <em>Matur sembah nuwun duh Gusti Ingkang Murbeng Dumadi</em>, sebagai wujud terimakasihku, aku harus selalu belajar tulus, ikhlas, sabar, dan tabah. Jangan enggan membantu sesama, berbuat baiklah pada orang lain tanpa pamrih, tak perlu berharap-harap pahala, tak suka membangun permusuhan, hanya <em>kinarya karyenak ing tyas sesama</em>. Kembali pada <em>kodrating manungsa</em>, <em><span style="color: red;">duwe rasa, ora duwe rasa duwe</span></em>.<span> </span>Sebagai wujud <em>netepi</em> kodrat Ilahi Yang Maha Pengasih dan Penyayang. <strong>Berbuat baik pada orang lain itu<span> </span>sesungguhnya berbuat baik untuk diri kita sendiri</strong>. Dan satu lagi ; <strong><span style="color: aqua;">mukjizat Tuhan hanya bagi orang yang percaya saja. </span></strong><em><span style="color: rgb(204, 153, 255);">sabdalangit</span></em></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0pt; font-family: verdana;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-28134914279005494942010-09-19T05:11:00.000-07:002010-09-19T05:12:45.267-07:00Rahasia Kekuatan Doa<h2 class="post-title">Rahasia Kekuatan Doa</h2> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt;"> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Kami tidak akan membahas mengenai etika berdoa, karena dalam setiap agama tentunya sudah diajarkan mengenai tata cara dan etika berdoa, kami yakin para pembaca sudah lebih memahaminya.<span> </span>Tujuan kami menulis jauh dari maksud <em>menggurui</em>, semata hanya ingin berbagi pengalaman. Dengan kata lain, apa yang kami sampaikan juga pernah kami lakukan dan rasakan. Tujuan kami menulis adalah untuk berbagi kepada sesama, barangkali dapat memberi sedikit manfaat untuk para pembaca yang budiman. Dengan menggunakan akal budi dan hati nurani (nur/cahaya dalam hati) yang penuh keterbatasan kami berusaha mencermati, mengevaluasi dan kemudian menarik benang merah, berupa nilai-nilai <span> </span>(hikmah) dari setiap kejadian dan pengalaman dalam doa-doa kami.<span> </span></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Berkaitan dengan Waktu dan tempat yang dianggap mustajab untuk berdoa, kiranya setiap orang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang berbeda-beda. Kedua faktor itu berpengaruh pula terhadap kemantapan hati dan tekad dalam mengajukan permemohonan kepada Tuhan YME. Namun bagi saya pribadi semua tempat dan waktu adalah baik untuk melakukan doa. Pun banyak juga orang meyakini bahw doanya akan dikabulkan Tuhan, walaupun doanya bersifat verbal atau sebatas ucapan lisan saja. Hal ini sebagai konsekuensi, bahwa dalam berdoa hendaknya kita selalu berfikir positif (prasangka baik) pada Tuhan. Kami tetap menghargai pendapat demikian.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">SULITNYA MENILAI KESUKSESAN DOA</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Banyak orang merasa doanya tidak/belum terkabulkan. Tetapi banyak pula yang merasa bahwa Tuhan telah mengabulkan doa-doa tetapi dalam kadar yang masih minim, masih jauh dari target yang diharapkan. Itu hanya kata perasaan, belum tentu akurat melihat kenyataan sesunggunya. Memang sulit sekali mengukur prosentase antara doa yang dikabulkan dengan yang tidak dikabulkan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor berikut ;</span></span></p> <ol style="margin-top: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Kita sering tidak mencermati, bahkan lupa, bahwa anugrah yang kita rasakan hari ini, minggu ini, bulan ini, adalah merupakan “jawaban” Tuhan atas doa yang kita panjatkan sepuluh atau dua puluh Tahun yang lalu. Apabila sempat terlintas fikiran atau kesadaran seperti itu, pun kita masih meragukan kebenarannya. <strong>Karena keragu-raguan yang ada di hati kita, akan memunculah asumsi bahwa hanya sedikit doa ku yang dikabulkan Tuhan. </strong></span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Doa yang kita pinta pada Tuhan Yang Mahatunggal tentu menurut ukuran kita adalah baik dan ideal, akan tetapi apa yang baik dan ideal menurut kita, belum tentu baik dalam perspektif Tuhan. Tanpa kita sadari bisa saja Tuhan mengganti permohonan dan harapan kita dalam bentuk yang lainnya, tentu saja yang paling baik untuk kita. Tuhan Sang Pengelola Waktu, mungkin akan mengabulkan doa kita pada waktu yang tepat pula. <strong>Ketidaktahuan </strong>dan<strong> ketidaksadaran kita akan bahasa dan kehendak Tuhan (rumus/kodrat alam), membuat kita menyimpulkan bahwa doa ku tidak dikabulkan Tuhan.</strong> </span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Prinsip kebaikan meliputi dua sifat atau dimensi, universal dan spesifik. Kebaikan universal, akan berlaku untuk semua orang atau makhluk. Kebaikan misalnya keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, dan ketentraman hidup. Sebaliknya, kebaikan yang bersifat spesifik artinya, baik bagi orang lain, belum tentu baik untuk diri kita sendiri. Atau, baik untuk diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Kebaikan spesifik meliputi pula dimensi waktu, misalnya tidak baik untuk saat ini, tetapi baik untuk masa yang akan datang. Memang sulit sekali untuk memastikan semua itu. Tetapi paling tidak dalam berdoa, kemungkinan-kemungkinan yang bersifat positif tersebut perlu kita sadari dan terapkan dalam benak. Kita butuh kearifan sikap, kecermatan batin, kesabaran, dan ketabahan dalam berdoa. Jika tidak kita sadari kemungkinan-kemungkinan itu, pada gilirannya akan memunculkan karakter buruk dalam berdoa, yakni; <strong><em>sok tahu.</em></strong> Misalnya berdoa mohon berjodoh dengan si A, mohon diberi rejeki banyak, berdoa supaya rumah yang ditaksirnya dapat jatuh ke tangannya. <span> </span>Jujur saja, kita belum tentu benar dalam memilih doa dan berharap-harap akan sesuatu. <strong>Kebaikan spesifik yang kita harapkan belum tentu menjadi berkah buat kita. Maka kehendak Tuhan untuk melindungi dan menyelamatkan kita, justru dengan cara tidak mengabulkan doa kita. Akan tetapi, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, lantas berburuk sangka, dan tergesa menyimpulkan bahwa doaku tidak dikabulkan Tuhan.</strong> <strong></strong></span></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Tidak gampang memahami apa “kehendak” Tuhan. Diperlukan kearifan sikap dan ketajaman batin untuk memahaminya. Jangan pesimis dulu, sebab siapapun yang mau mengasah ketajaman batin, ia akan memahami apa dan bagaimana “bahasa” Tuhan. Dalam khasanah spiritual Jawa disebut “<strong><em>bisa nggayuh kawicaksanane Gusti</em></strong>”.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">HAKEKAT DIBALIK KEKUATAN DOA</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><span> </span>Agar doa menjadi mustajab (tijab/makbul/kuat) dapat kita lakukan suatu kiat tertentu. Penting untuk memahami bahwa doa sesungguhnya bukan saja sekedar <strong>permohonan </strong>(verbal). Lebih dari itu, doa adalah <strong>usaha</strong> yang nyata <em>netepi </em>rumus/kodrat/hukum Tuhan sebagaimana tanda-tandanya tampak pula pada gejala kosmos. Permohonan kepada Tuhan dapat ditempuh dengan lisan. Tetapi PALING PENTING adalah doa butuh penggabungan antara dimensi batiniah dan lahiriah (laten dan manifesto) metafisik dan fisik. Doa akan menjadi mustajab dan kuat bilamana doa kita berada pada aras hukum atau kodrat Tuhan;</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <ol style="margin-top: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam berdoa seyogyanya menggabungkan 4 unsur dalam diri kita; meliputi; <strong>hati, pikiran, ucapan, tindakan</strong>. Dikatakan bahwa Tuhan berjanji akan mengabulkan setiap doa makhlukNya? tetapi mengapa orang sering merasa ada saja doa yang tidak terkabul ?<span> </span>Kita tidak perlu berprasangka buruk kepada Tuhan. Bila terjadi kegagalan dalam mewujudkan harapan, berarti ada yang salah dengan diri kita sendiri. Misalnya kita berdoa mohon kesehatan. Hati kita berniat agar jasmani-rohani selalu sehat. Doa juga diikrarkan terucap melalui lisan kita. Pikiran kita juga sudah memikirkan bagaimana caranya hidup yang sehat. <strong>Tetapi</strong> tindakan kita tidak sinkron, justru makan jerohan, makanan berkolesterol, dan makan secara berlebihan. Hal ini merupakan contoh doa yang tidak kompak dan tidak konsisten. Doa yang kuat dan mustajab harus konsisten dan kompak melibatkan empat unsur di atas. Yakni antara hati (niat), ucapan (statment), pikiran (planning), dan tindakan (action) jangan sampai terjadi kontradiktori. Sebab kekuatan doa yang paling ideal adalah doa yang diikuti dengan PERBUATAN (usaha) secara konkrit. </span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Untuk <strong>hasil akhir</strong>, pasrahkan semuanya kepada “kehendak” <span> </span>Tuhan, tetapi ingat <strong>usaha</strong> mewujudkan doa merupakan <strong>tugas manusia</strong>. Berdoa harus dilakukan dengan kesadaran yang penuh, bahwa manusia bertugas mengoptimalkan prosedur dan usaha, soal hasil atau targetnya sesuai harapan atau tidak, biarkan itu menjadi kebijaksanaan dan kewenangan Tuhan. Dengan kata lain, tugas kita adalah berusaha maksimal, keputusan terakhir tetap ada di tangan Tuhan. Saat ini orang sering keliru mengkonsep doa. Asal sudah berdoa, lalu semuanya dipasrahkan kepada Tuhan. Bahkan cenderung berdoa hanya sebatas lisan saja. Selanjutnya doa dan harapan secara <strong>mutlak</strong> dipasrahkan pada Tuhan. Hal ini merupakan kesalahan besar dalam memahami doa karena terjebak oleh sikap <strong>fatalistis</strong>. Sikap fatalis menyebabkan kemalasan, perilaku tidak masuk akal dan mudah putus asa. Ujung-ujungnya Tuhan akan dikambinghitamkan, dengan menganggap bahwa kegagalan doanya memang sudah menjadi NASIB yang digariskan Tuhan. Lebih salah kaprah, bilamana dengan gegabah menganggap kegagalannya sebagai bentuk <strong>cobaan</strong> dari Tuhan (bagi orang yang beriman). Sebab <strong>kepasrahan</strong> itu artinya pasrah akan penentuan kualitas dan kuantitas <strong>hasil akhir</strong>. Yang namanya<strong> ikhtiar </strong>atau<strong> usaha </strong>tetap<strong> menjadi tugas </strong>dan<strong> tanggungjawab manusia.</strong> </span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Berdoa jangan menuruti harapan dan keinginan diri sendiri, sebaliknya berdoa<span> itu pada dasarnya </span><em>menetapkan perilaku dan perbuatan kita ke dalam </em>rumus (kodrat) Tuhan. Kesulitannya adalah mengetahui apakah doa atau harapan kita itu baik atau tidak untuk kita. Misalnya walaupun kita menganggap doa yang kita pintakan adalah baik. Namun kenyataannya kita juga tidak tahu persis, apakah kelak permintaan kita jika terlaksana akan membawa kebaikan atau sebaliknya membuat kita celaka. </span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Berdoa secara <em>spesifik</em> dan <em>detil</em> dapat mengandung resiko. Misalnya doa agar supaya tender proyek jatuh ke tangan kita, <span> </span>atau berdoa agar kita terpilih menjadi Bupati. Padahal jika kita bener-bener menjadi Bupati tahun ini, di dalam struktur pemerintahan terdapat orang-orang berbahaya yang akan “menjebak” kita melakukan korupsi. Apa jadinya jika permohonan kita terwujud. Maka dalam berdoa sebaiknya menurut kehendak Tuhan, atau dalam terminologi Jawa “berdoa sesuai kodrat alam” atau hukum alamiah. Caranya, di dalam doa hanya memohon yang terbaik untuk diri kita. Sebagai contoh;<span> </span>ya Tuhan, andai saja proyek itu memberi kebaikan kepada diriku, keluargaku, dan orang-orang disekitarku, maka perkenankan proyek itu kepadaku, namun apabila tidak membawa berkah untuk ku, jauhkanlah. Dengan berdoa seperti itu, kita serahkan jalan cerita kehidupan ini kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana. </span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><strong>Doa yang ideal dan etis adalah doa yang tidak menyetir/mendikte Tuhan, doa yang tidak menuruti kemauan diri sendiri, doa yang pasrah kepada Sang Maha Pengatur. Niscaya Tuhan akan meletakkan diri kita pada rumus dan kodrat yang terbaik…untuk masing-masing orang ! Sayangnya, kita sering lupa bahwa doa kita adalah doa <em>sok tahu,</em> pasti baik buat kita, dan doa yang telah menyetir atau mendikte kehendak Tuhan. Dengan pola berdoa seperti ini, doa hanya akan menjadi nafsu belaka, yakni nuruti rahsaning karep.</strong></span></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">DOA MERUPAKAN PROYEKSI PERBUATAN KITA,</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">AMAL KEBAIKAN KITA PADA SESAMA MENJADI DOA </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">TAK TERUCAP YANG MUSTAJAB.</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;"> </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"><span> </span>Kalimat sederhana ini merupakan kata kunci memahami misteri kekuatan doa;<span> </span><strong><em>doa adalah seumpama cermin !!</em></strong> Doa kita akan terkabul atau tidak<span> </span>tergantung dari amal kebaikan yang pernah kita lakukan terhadap sesama. Dengan kata lain terkabul atau gagalnya doa-doa kita merupakan cerminan akan amal kebaikan yang pernah kita lakukan pada orang lain. Jika kita secara sadar atau tidak sering mencelakai orang lain maka doa mohon keselamatan akan sia-sia. Sebaliknya, orang yang selalu menolong dan membantu sesama, kebaikannya sudah menjadi “doa” sepanjang waktu, hidupnya selalu mendapat kemudahan dan mendapat keselamatan. Kita gemar dan ikhlas mendermakan harta kita untuk membantu orang-orang yang memang tepat untuk dibantu. Selanjutnya cermati apa yang akan terjadi pada diri kita, rejeki seperti tidak ada habisnya! Semakin banyak beramal, akan semakin banyak pula rejeki kita. Bahkan sebelum kita mengucap doa, Tuhan sudah memenuhi apa-apa yang kita harapkan. <strong>Itulah pertanda, bahwa perbuatan dan amal kebaikan kita pada sesama, akan menjadi doa yang tak terucap, tetapi sungguh yang mustajab</strong>. Ibarat sakti tanpa kesaktian. Kita berbuat baik pada orang lain, sesungguhnya perbuatan itu seperti doa untuk kita sendiri. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dalam tradisi spiritual Jawa terdapat suatu rumus misalnya :</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">1. Siapa gemar membantu dan menolong orang lain, maka ia akan selalu mendapatkan kemudahan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">2. Siapa yang memiliki sikap welas asih pada sesama, maka ia akan disayang sesama pula.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">3. Siapa suka mencelakai sesama, maka hidupnya akan celaka.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">4. Siapa suka meremehkan sesama maka ia akan diremehkan banyak orang.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">5. Siapa gemar mencaci dan mengolok orang lain, maka ia akan menjadi orang hina.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">6. Siapa yang gemar menyalahkan orang lain, sesungguhnya ialah orang lemah.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">7. Siapa menanam “pohon” kebaikan maka ia akan menuai buah kebaikan itu.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Semua itu merupakan contoh kecil, bahwa perbuatan yang kita lakukan merupakan doa untuk kita sendiri. Doa ibarat cermin, yang akan menampakkan gambaran asli atas apa yang kita lakukan. Sering kita saksikan orang-orang yang memiliki kekuatan dalam berdoa, dan kekuatan itu terletak pada konsistensi dalam perbuatannya. Selain itu, kekuatan doa ada pada ketulusan kita sendiri. Sekali lagi ketulusan ini berkaitan erat dengan sikap netral dalam doa, artinya kita tidak menyetir atau mendikte Tuhan.</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 18pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Berikut ini merupakan “rumus” agar supaya kita lebih cermat dalam mengevaluasi diri kita sendiri; </span></span></p> <ol style="margin-top: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Jangan pernah berharap-harap kita <strong>menerima </strong>(anugrah), apabila kita enggan dalam <strong>memberi</strong>. </span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Jangan pernah berharap-harap akan selamat, apabila kita sering membuat orang lain celaka.</span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Jangan pernah berharap-harap mendapat limpahan harta, apabila kita kurang peduli terhadap sesama.</span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Jangan pernah berharap-harap mendapat keuntungan besar, apabila kita selalu menghitung untung rugi dalam bersedekah.</span></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Jangan pernah berharap-harap meraih hidup mulia, apabila kita gemar menghina sesama.</span></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Lima “rumus” di atas hanya sebagian contoh. Silahkan para pembaca yang budiman mengidentifikasi sendiri rumus-rumus selanjutnya, yang tentunya tiada terbatas jumlahnya. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Resume</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Doa akan memiliki kekuatan (mustajab), asalkan kita mampu memadukan empat unsur di atas yakni : hati, ucapan, pikiran, dan perbuatan nyata. Dengan syarat perbuatan kita<strong> tidak bertentangan </strong>dengan<strong> isi doa</strong><strong>. Di lain sisi a</strong><strong>mal kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan menjadi doa mustajab sepanjang waktu, </strong><em>hanya jika</em>,<strong> kita melakukannya </strong>dengan<strong> <em>ketulusan</em>. Setingkat dengan ketulusan kita di pagi hari saat “membuang ampas makanan” tak berarti. </strong></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">JIKA INGIN DIBERI,</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;">MEMBERILAH TERLEBIH DAHULU !</span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;" align="center"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-size: small;"> </span></strong></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Dahulu saya pernah mengalami kebanyakan <em>asa</em>, lalu giat sekali berdoa bermacam-macam hal. Siang-malam berdoa isinya permohonan apa saja yang diinginkan. Waktu berdoa pun hanya pada <span> </span>waktu tertentu yang dianggap tijab. Tetapi <span> </span>saya masih merasakan kehampaan dalam hidup. Bahkan dirasakan realitas yang terjadi justru semakin menjauh dari harapan seperti yang terucap dalam setiap doa. Lama-kelamaan muncul kesadaran ada yang tidak beres dalam prinsip pemahaman saya ini. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Kesadaran diri muncul lagi manakala merasa sangat kurang dalam melakukan amal kebaikan terhadap sesama. Kami berfikir, betapa buruknya tabiat ini, yang selalu banyak meminta-minta, tetapi sedikit “memberi”. Coba mengingat apa saja kebaikan yang pernah kami lakukan pada sesama, Parah…sepertinya kok nggak ada… atau kami yang sudah lupa. Namun yang teringat justru keburukan dan kesalahan yang pernah kami lakukan pada teman, keluarga, orang tua, dan pada orang lain. Kami menjadi resah sendiri, merasa dalam kehidupan ini kami tidak bermanfaat samasekali untuk orang banyak, sementara kami nggak tahu malu dengan selalu meminta-minta terus Hyang Widhi. Egois, maunya enaknya sendiri. Berharap-harap memperoleh pemenuhan hak-hak sebagai manusia ciptaan Tuhan, tetapi enggan memenuhi kewajiban untuk beramal baik pada sesama. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Hingga pada suatu saat kami mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti, paling tidak menurut diri kami sendiri. Sejak itu, terjadilah perubahan paradigma dalam memandang dan memahami rumus Tuhan. Doa (harapan) adalah perbuatan konkrit. Sejak saat itu, dengan sekuat tenaga setiap saat ada kesempatan kami melakukan sesuatu yang kira-kira ada manfaat untuk orang lain. Dimulai dari hal-hal sepele, sampai yang tidak sepele. Dasar pemikiran kami adalah kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang telah menerima sekian puluh atau ratus anugrah dalam setiap detiknya. Namun kenyataannya manusia tiada rasa “malu” setiap saat selalu meminta pada Tuhan. Lantas kapan bersukurnya ? Jika berdoa memohon sesuatu, kami lebih banyak melakukannya untuk mendoakan teman, kerabat, keluarga. Sedangkan untuk diri sendiri, tiada yang pantas dilakukan selain lebih banyak mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan. </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Banyak mengucapkan syukur di bibir saja tidak cukup. Kami harus lebih pandai mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan. <strong>Rasa bersyukur serta doa-doa </strong><strong>melebur </strong>dan<strong> mewujud ke dalam satu perbuatan. Rasa sukur termanifestasikan kedalam perbuatan yang bermanfaat untuk banyak orang. Demikian pula cara berdoa tidak sekedar terucap melalui mulut, namun lebih penting adalah mewujud dalam perbuatan nyata. </strong></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; text-align: justify; margin: 0pt; font-family: trebuchet ms; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: small;">Cara kami berdoa seperti itu mungkin terasa “<em>aneh</em> dan <em>nyleneh</em>” bagi beliau-beliau yang telah berilmu tinggi dan menguasai ajaran agama secara teksbook. Akan tetapi prinsip dan cara-cara itulah yang kami pribadi rasa paling pas. Maklum saya ini orang bodoh yang masih belajar ke sana-kemari. Tetapi paling tidak, kami secara pribadi telah membuktikan manfaat dan hasilnya. </span><em><span style="font-size: small;">Mohon maaf apabila banyak kata dan ucapan yang kurang berkenan, saya menyadari sebagai orang yang masih bodoh banyak kekurangan, tetapi memaksa diri untuk menulis.</span></em></span></p>saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9210787564437300561.post-92140768767896251982010-07-09T06:32:00.001-07:002010-07-09T06:43:30.502-07:00WAYANG<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhx7PVVtNVy3Vfo4IThvmxBKtWEmX-7VUGXo8Ec3_nZVlie6T5yOANsCKutHTXuk7F8titum-v-xuW263QgNFsQ2yYkTE6gvpMa5gGo7uM-RXZBie7TgfCjEMJaQY-s2E2lKRnM8RBNEvE/s1600/wayang-kulit-1-silhouetweb.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 281px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhx7PVVtNVy3Vfo4IThvmxBKtWEmX-7VUGXo8Ec3_nZVlie6T5yOANsCKutHTXuk7F8titum-v-xuW263QgNFsQ2yYkTE6gvpMa5gGo7uM-RXZBie7TgfCjEMJaQY-s2E2lKRnM8RBNEvE/s320/wayang-kulit-1-silhouetweb.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5491899292613438642" border="0" /></a><br />Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.<br /><br />Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).<br /><br />Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.<br /><br />Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa.<br /><br />Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam) dipentaskan pula.<br /><br />Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".saktihttp://www.blogger.com/profile/15733987686401764489noreply@blogger.com0